Sabtu, 24 Mei 2008

Mild Cognitive Impairment ( MCI ) pada penderita Stroke Infark dengan riwayat merokok dan Drug Abuse

Rikhy Andhani*Abdul Gofir**

*Peserta PPDS I Ilmu Penyakit saraf Fakultas kedokteran UGM
**Bagian Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
PENDAHULUAN
MCI (Mild Cognitive Impairment) merupakan “transitional State” (keadaan transisi) antara kognitif normal dan demensia, terutama demensia alzheimer. Penelitian untuk membandingkan rasio konversi ke demensia alzheimer pada subyek MCI dan subyek normal menunjukkan hasil bahwa subyek dengan MCI mempunyai risiko lebih tinggi untuk menjadi demensia daripada subyek kontrol dengan usia sebaya. Pasien MCI mempunyai risiko tinggi untuk menjadi alzheimer dengan rasio 10 sampai 12 persen setahun. Apabila dalam praktek ditemukan seorang pasien yang mengalami gangguan memori berupa gangguan ingatan tertunda (delayed recall) atau mengalami kesulitan mengingat kembali sebuah informasi walaupun telah diberikan bantuan isyarat semantik padahal pasien tersebut secara kognisi normal, maka perlu dipertimbangkan adanya MCI. Pada umumnya pasien MCI mengalami kemunduran dalam memori baru (recent memory).
Diagnosis MCI dibuat pada pasien dengan kriteria Petersen (1995) berikut : (a) adanya keluhan memori. (b) aktivitas hidup sehari-hari normal, (c) fungsi kognitif umum normal. (d) memori abnormal untuk usia. (e) tidak ada demensia1 .
Hill et al. (2003) melaporkan suatu studi di Swedia menunjukkan kemampuan kognitif yang rendah pada individu yang merokok dalam jangka waktu lama. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa rokok juga menyebabkan peningkatan risiko gangguan kognitif dan demensia7. Nikotin berefek pervasif pada kimia neuron otak. Mengaktivasi nicotinic acethylcoline receptors (nAchRs) yang tersebar di otak dan menginduksi pelepasan dopamin di nukleus accumben. Efek ini identik dengan penyalahgunaan narkoba dan dianggap sebagai mekanisme penyebab adiksi di otak

NAPZA
Penyalahgunaan Napza merupakan suatu pola penggunaan yang bersifat patologik, berlangsung dalam jangka waktu tertentu dan menimbulkan gangguan fungsi sosial dan okupasional. Istilah Napza (Narkotika, psikotropika, dan Zat adiktif lainnya) lebih tepat dibandingkan dengan istilah narkoba (narkotika dan obat berbahaya) karena didalam singkatan tersebut tercantum juga psikotropika, yaitu obat yang biasa digunakan untuk gangguan kesehatan jiwa namun yang sering disalahgunakan dan dapat menimbulkan adiksi. Napza dapat dikelompokkan dalam golongan opium dan non opium2 .
Ketergantungan narkotika dapat berupa ketergantungan fisik dan psikis. Ketergantungan fisik ditimbulkan akibat adaptasi susunan syaraf tubuh (neurobiologis) untuk menghadirkan narkotika yang ditandai dengan gejala putus narkotika. Ketergantungan psikis adalah pola perilaku yang sangat kuat untuk menggunakan narkotika agar memperoleh kenikmatan. Pada tingkat penyalahgunaan dan ketergantungan narkotika dapat menimbulkan konsekuensi-konsekuensi kesehatan yang serius. Tidak semua yang baru mencoba narkotika dapat menjadi ketergantungan. Ada beberapa tahap yang dilalui setelah mencoba dan menikmati narkotika yaitu menjadi pemakaian sosial yang bertujuan hanya untuk bersenang-senang saja. Peningkatan selanjutnya menjadi pemakaian situasi artinya menggunakan narkotika pada saat-saat tertentu misalnya untuk menghalau perasaan stres, depresi atau sedih. Namun bilamana dipakai terus menerus minimal 1 bulan tanpa indikasi medis atau telah terjadi gangguan fungsi sosial maka keadaan ini telah bersifat menyimpang atau patologis atau dikatakan telah menyalahgunakan narkotika (abuse). Tingkat terakhir merupakan tingkat ketergantungan dengan adanya toleransi tubuh dan timbulnya gejala putus narkotika bila pemakaian dihentikan atau dikurangi atau tidak ditambah dosisnya.
Akibat penggunaan berjangka lama dengan dosis yang cukup besar maka otomatis tubuh menyesuaikan diri dengan narkotika dengan cara membentuk keseimbangan baru. Suatu saat narkotika mendadak dihentikan maka segera terjadi kekacauan pada sistem keseimbangan tersebut dengan timbulnya reaksi hebat yang dikenal sebagai gejala putus narkotika. Gejala ini meliputi gejolak fisik maupun psikis. Timbul kaku otot, nyeri sendi, diare, mual, muntah, berdebar-debar, berkeringat, merinding, demam, menguap dan tidak bisa tidur. Pikiran saat itu hanya mendambakan narkotika (sugesti atau craving), perasaan atau suasana hati menjadi gelisah, cemas, lekas marah dan tidak nyaman atau disforia3.
Klasifikasi
Di dalam Undang-undang RI No. 2 tahun 1997 ini zat narkotika dibedakan menjadi 3 golongan:
1. Narkotika golongan I, misalnya : heroin, kokain, ganja.
2. Narkotika golongan II, misalnya : morfin, petidin dan derivatnya.
3. Narkotika golongan III, misalnya : kodein
Di dalam Undang-undang RI No. 5 tahun 1997 zat psikotropika dibedakan menjadi 4 golongan ialah:
1. Psikotropika golongan I, misalnya MDMA (Ekstasi), LSD, STP
2. Psikotropika golongan II, misalnya: amfetamin, fensiklidin, sekobarbital, metakuolon, metal-fenidat (Ritalin)
3. Psikotropika golongan III, misalnya : fenobarbital, flunitrazepam
4. Psikotropika golongan IV, misalnya: diazepam, klobazam, bromazepam, klonazepam, khlordiazepoksid, nitrazepam (BK, DUM, MG)
Napza dan efeknya terhadap sistem saraf
Zat psikotropika dibagi menjadi dua golongan ialah: golongan psikostimulansia dan golongan psikodepresansia.
Golongan Psikostimulansia
Narkotika
Zat ini meliputi 3 jenis ialah : opioid, kokain dan ganja.
Kokain
Bila seseorang menghirup kokain (inhalasi) atau merokoknya maka dengan cepat kokain akan didistribusikan ke dalam otak. Walaupun kokain mencapai seluruh bagian otak, tetapi yang paling banyak terkonsentrasi adalah pada bagian VTA, nucleus accumbens dan nucleus caudatus. Kokain terkonsentrasi pada daerah otak yang hanya kaya akan sinapsis dopamine. Bila kokain ada dalam sinapsis, terikat dengan proses pengambilan dopamine maka akan mencegah pengeluaran dopamine dari sinapsis dan lebih banyak reseptor dopamine yang aktif. Peningkatan aktivitas reseptor dopamine akan meningkatkan siklik AMP di dalam sel post sinaptik. Hal ini akan menyebabkan terjadinya perubahan di dalam sel, akibatnya sel tidak bekerja secara normal. Pada otak tidak terjadi metabolism glukosa sehingga menurunkan kemampuan neuron untuk menggunakan glukosa sebagai energy, akibatnya fungsi otak terganggu.

Ganja (kanabis, marijuana, hashish)
Bilamana seseorang merokok mariyuana, bahan aktifnya yaitu cannabinoid atau THC, cepat terdistribusikan ke otak. Ventral tegmental area (VTA), nucleus accumbens, hippocampus dan serebelum adalah area tempat THC terkonsentrasi. THC terikat dalam reseptor protein yang terkonsentrasi tersebut. Kerja THC dalam hipokampus adalah mengganggu system memori, sedangkan dalam serebelum dapat menyebabkan inkoordinasi saraf dan hilangnya keseimbangan. Beberapa penelitian terus dilakukan dan ternyata nucleus accumbens sering terkena. Ada tiga neuron yang terlibat dalam proses tersebut, yaitu terminal dopamine, terminal GABA dan post sinaptik yang mengandung reseptor dopamine. THC akan berikatan dengan reseptornya pada terminal didekatnya dan mengirimkan signal ke terminal dopamine, sehingga terminal tersebut mengeluarkan dopamine. Begitu dopamine terbebaskan, terjadilah peningkatan produksi siklik cAMP di dalam sel post sinaptik yang akan mengganggu aktivitas normal dari neuron.
Reseptor THC berlokasi di hipokampus dan korteks serebri berpengaruh terhadap konsentrasi dan memori, serebelum dan ganglia basale menyebabkan gangguan motorik, amygdale, dan hypothalamus dapat mempengaruhi napsu makan.
Ekstasi
Ekstasi berpotensi merusak reseptor serotonin dan juga neuron serotonin dalam otak. Serotonin adalah system kimia saraf yang mengatur emosi, perasaan, berpikir, mengingat (memory) dan tidur. Dalam satu jam setelah mengkonsumsi ekstasi, kantong kecil dalam terminal akson yang mengandung serotonin membebaskan sejumlah besar serotonin ke dalam sinapsis. Serotonin kemudian terikat dalam transporter membrane akson. Sekitar 3 jam kemudian transporter serotonin mengambil serotonin dari sinapsis kemudian dipecah oleh enzim monoamine oksidase, tetapi masih banyak serotonin aktif dalam reseptor.
Gejala pertama pengaruh ekstasi adalah depresi, kerusakan otak, gelisah, nausea, berkeringat dingin dan kerusakan hati. Berpikir lambat, gangguan memori karena berkurangnya serotonin dan dopamine dalam jangka waktu yang lama2 .

KASUS
Seorang laki-laki usia 40 tahun datang ke Klinik Memori RSUP Dr. Sardjito (2 Februari 2008) dengan keluhan mudah lupa, sejak kurang lebih 7 tahun sebelum datang ke klinik memori pasien mulai mengkonsumsi ganja yang dicampurkan dalam rokok, shabu-shabu dengan cara dihirup, serta ekstasi yang dikonsumsi hampir setiap hari. Setiap menggunakan barang-barang tersebut, pasien merasa seperti melayang, rasa gembira yang berlebihan, badan terasa enak, tidak mudah lapar. Menurut pengakuan pasien, jika tidak menggunakan barang-barang tersebut, pasien akan merasa nyeri pada sendi-sendi tubuh, keringat dingin, merasa seperti perasaannya tertekan, gemetar, gelisah, susah tidur, mual dan lemas. Tidak ada gangguan tingkah laku, gangguan berpikir, dan gangguan emosi.
Kurang lebih 4 tahun sebelum datang ke klinik memori, pasien mengeluh mudah lupa akan kejadian atau kegiatan yang baru saja dilakukan pada hari itu seperti lupa dimana meletakkan sesuatu dan terkadang akan mencarinya ditempat yang salah. Pasien juga mengeluh mudah lupa akan barang bawaannya, yang terkadang sering tertinggal padahal sudah disiapkan oleh pasien pada hari itu. Untuk ingatan akan tanggal lahirnya, nama-nama orang terdekatnya dan keluarganya, serta kejadian masa lalu tidak ada gangguan. Perubahan tingkah laku dan emosi disangkal.
Kurang lebih 6 bulan sebelum datang ke klinik memori, karena dirinya dicalonkan sebagai lurah, maka pasien memutuskan untuk berhenti mengkonsumsi napza. Selama tidak mengkonsumsi napza diakui oleh pasien bahwa saat itu badan terasa tidak enak tetapi karena adanya kemauan dari diri sendiri, semua hal itu dapat dilawan. Setelah berhenti mengkonsumsi barang tersebut, keluhan mudah lupa masih menetap. Pada saat memberikan uang pada seseorang terkadang pasien akan memberikannya untuk yang kedua kalinya. Saat mempunyai janji, pasien juga terkadang lupa sehingga pasien menggunakan handphonenya sebagai reminder. Saat menyampaikan informasi kepada seseorang terkadang pasien akan menyampaikannya sampai 2 kali.
Kurang lebih 2 bulan sebelum datang ke klinik memori, saat duduk, tiba-tiba pasien merasa lemas anggota gerak kanannya, untuk berjalan harus diseret, pasien tidak mengeluh nyeri kepala, muntah, pelo, perot, serta kejang, dan pasien langsung berobat ke Rumah Sakit Sardjito dan dirawat di unit stroke serta dilakukan scan kepala dengan hasil adanya infark serebri di region temporalis sinistra. Pasien mengalami kelemahan anggota gerak sisi kanan. Pasien dirawat selama 8 hari. Kondisi saat pulang, kelemahan anggota gerak sisi kanannya membaik, jalan sudah tidak diseret tetapi masih terasa berat untuk berjalan.
Kurang lebih 2 minggu sebelum datang ke klinik memori, karena terpilih sebagai lurah, pasien mulai aktif menjalankan kegiatannya di kantor. Pasien merasa tidak ada hambatan dalam melakukan pekerjaannya namun terkadang setiap akan membuka suatu acara pasien merasa sedikit kurang konsentrasi. pasien merasa penyakit mudah lupa akan kejadian yang baru saja dilakukan makin memberat yang ditandai dengan adanya teguran dari beberapa orang disekitarnya tentang perubahan itu. pasien juga merasa adanya gangguan dalam berhitung yaitu tidak bisa secepat sebelumnya dalam hal menjumlahkan, mengurangi, membagi serta mengalikan angka. Pasien masih dapat membedakan tanda tambah, kurang, bagi dan kali. Masih dapat membedakan angka yang terbesar, tidak ada gangguan melihat angka di jam tangan atau jam dinding, tidak ada kesulitan dalam melakukan pembukuan keuangan, tidak mengalami kesulitan dalam memperkirakan jarak dari rumah ke kantor, Saat menghitung dengan menggunakan kalkulator tidak ada gangguan. Tidak ada gangguan dalam membedakan kiri dan kanan, dapat membedakan angka salah satu angka terbesar, tidak merasa phobia dengan matematika. Pasien mempunyai penyakit hipertensi sudah 10 tahun, tidak kontrol rutin, riwayat merokok sejak 25 tahun dan sejak sakit stroke (2 bulan sebelum datang ke klinik memori) sudah berhenti, tidak ada riwayat trauma kepala dan nyeri kepala sebelumnya. Hasil pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum cukup baik dengan gizi cukup, tidak didapatkan gangguan pada saraf kranialis, reflek primitif tidak ditemukan, gejala sisa stroke yaitu spastisitas pada anggota gerak sisi kanan tanpa perberatan kelemahan, tanda gangguan keseimbangan tidak didapatkan.
MMSE : 23 CDT : 1 (tgl 9 November 2007 : Saat dirawat di Unit Stroke Rs Dr Sardjito)
MMSE : 24 CDT: 4 (tgl 15 Januari 2008 saat datng ke Klinik Memori)
Tes Fungsi Luhur : Orientasi baik, gangguan atensi ringan, gangguan memori (recent memory) dan new learning ability ringan
Kesimpulan : MCI pada penderita Stroke Infark dengan riwayat merokok dan drug abuse
Saran : Stimulasi kognitif
Donepezil 1×1 tablet
Token Test ? score 35 ? tidak ada gangguan
FAQ ? I. total score 0 = mandiri (Keluarga)
II. total score 3 = mandiri (Teman kerja)
IADL ? total score 0 = tidak perlu / mandiri
ADL ? total score 0 = tidak perlu / mandiri
Hachinski Skor ? total score 15 = vascular dementia
HRSD = 5 ? tidak ada depresi
HRSA = 1 ? tidak ada kecemasan

PEMBAHASAN
Pasien adalah seorang pengguna kokain juga ganja selama tujuh tahun dan mengaku ada rasa ingin mengkonsumsi barang tersebut. Gejala yang sering terlihat pada penderita adiksi kokain adalah: tekanan darah yang meningkat yang dapat mengakibatkan infark pada otak, jantung berdenyut cepat sehingga dapat mengakibatkan serangan jantung, stroke. Pengaruh ganja dan kokain pada tubuh adalah selain meningkatkan tekanan darah, dapat mengakibatkan terjadinya peningkatan denyut jantung sehingga akan terjadi gangguan kardiovaskuler, dan bila mana keduanya digunakan bersama-sama, maka efeknya akan meningkatkan denyut jantung menjadi 49x/menit, bilamana digunakan ganja saja maka denyut jantung akan meningkat menjadi 29x/menit, bila kokain saja 32x/menit. Peningkatan denyut jantung tersebut akan berlanjut dalam waktu lama. Dari uraian diatas masih ada kemungkinan terjadinya stroke infark pada pasien diakibatkan penyalahgunaan NAPZA (drug abuse) dan riwayat merokok yang berakibat terjadinya gangguan kognitif terutama memori dan diperberat dengan adanya gangguan pembuluh darah otak yang berdasarkan pemeriksaan fungsi luhur dapat diambil kesimpulan pasien mengalami gangguan kognitif ringan (Mild Cognitive Impairment).
Kriteria mudah lupa (forgetfulnes) : (1). mudah lupa nama benda, nama orang, (2). Terdapat gangguan dalam mengingat kembali (recall). (3). Terdapat gangguan dalam mengambil kembali informasi yang telah tersimpan dalam memori (retrieval). (4). Tidak ada gangguan dalam mengenal kembali sesuatu apabila dibantu dengan isyarat (clue) (recognition). (5). Lebih sering menjabarkan fungsi atau bentuk daripada menyebutkan namanya (circumlocution)1.
Pengaruh toksisitas dari ganja (THC) karena cepat terdistribusikan ke otak dan terkonsentrasi di VTA, nucleus accumbens, dan hipokampus, yang mana THC akan terikat dalam reseptor protein, sehingga kerja THC dalam hipokampus dan korteks serebri adalah mengganggu system memori dan berpengaruh terhadap konsentrasi dan perhatian yang menurun karena adanya gangguan aktivitas dari neuron. Pengaruh ekstasi juga dapat mengakibatkan terjadinya gangguan memori karena berkurangnya serotonin dan dopamine2.
Sistem lobus temporal mempunyai peranan penting dalam memori. Adanya reseksi bilateral struktur medial lobus temporalis, termasuk dua pertiga anterior hipokampus, girus posthipokampal, dan amigdala dapat mengakibatkan terjadinya amnesia anterograde yang mana hilangnya kemampuan menyimpan memori baru, tidak dapat mengingat nama-nama seseorang yang pernah dijumpai sebelumnya, Hilangnya memori tentang kejadian-kejadian yang terjadi sebelumnya, adanya masalah dalam kapasitas memori, sebagai contoh jika berkonsentrasi dan tidak mengalami gangguan, dia dapat mengingat seperti urutan angka pendek, selama kurang lebih 15 menit, tetapi begitu ada gangguan, seketika itu juga ingatannya akan lenyap dari memorinya. Sehingga pasien tersebut tidak mempunyai kemampuan untuk menyimpannya dalam waktu yang singkat yang mana kita sebut sebagai working memory atau memori untuk kejadian yang baru saja terjadi atau disebut juga dengan recent memory4 hal ini seperti yang dialami oleh pasien.
VASCULAR COGNITIVE IMPAIRMENT (VCI)
Adalah kondisi awal sebuah demensia vaskuler yang belum lama dikembangkan. Dalam klinik kondisi sejenis ini cukup banyak dijumpai. Contoh: seorang pasien dengan gejala hipertensi yang kronik yang menunjukkan gejala kognitif berupa gangguan memori dan pada evaluasi fungsi luhur ditemukan adanya gejala kognitif lain. Pada imajing dijumpai adanya kelainan yang sesuai dengan gangguan vaskuler subkortikal. Namun pasien belum menunjukkan adanya criteria yang cukup untuk digolongkan sebagai demensia. Diagnosis klinis adalah adanya sindrom kognitif berupa dieksekutif sindrom dan defisit memori. Ditambah bukti jelas adanya cerebrovaskular disease oleh imajing otak dan adanya riwayat gejala neurologis. Mekanisme primer vascular cognitive impairment berdasarkan penyakit pembuluh darah kecil. Ada dua cara berkaitan dengan lesi ini. Cara pertama berupa oklusi tunggal arteriola atau lumen arteriol yang menimbulkan infark lakuner lengkap. Cara kedua berupa stenosis kritis pembuluh darah kecil yang multiple yang menimbulkan hipoperfusi dan infark tidak lengkap. Letak infark penting artinya, walaupun tidak konsisten. Letak infark yang amat penting untuk dapat menyebabkan gangguan kognitif adalah lesi bilateral, sisi kiri, thalamus, serebral anterior dan frontal. Untuk esesmen VCI ditekankan untuk executive control function. Yang terakhir ini menekankan kemampuan kognitif untuk perencanaan, inisiatif, urutan dan pemantauan perilaku yang terarah dan kompleks. Untuk tujuan praktis, skrining test VCI dapat mempergunakan MMSE ditambah dengan executive Clock Drawing Task. Kriteria lanjut adalah bahwa VCI harus mempunyai resiko vaskuler (hipertensi, diabetes dan kolesterol tinggi), atau pernah mengalami gangguan serebrovaskuler6. Suatu penyakit vaskuler termasuk stroke dapat menyebabkan suatu defisit kognisi ringan sampai berat (Hachinski, 2002). Penyakit vaskuler dapat mengakibatkan terjadinya efek difus atau fokal pada otak yang mengakibatkan gangguan kognitif. Bagian otak yang berhubungan dengan kemunduran kognitif adalah white matter pada hemisfer serebri, jaringan abu-abu terutama striatum dan thalamus. Hipertensi merupakan penyebab utama lesi difus. Tiga hal yang utama berpengaruh pada mekanisme terjadinya demensia vaskuler adalah infark kortikal multiple, single infark dan penyakit pembuluh darah kecil5. Definisi kognitif adalah salah satu aspek fungsi luhur otak yang dimaksudkan sebagai suatu proses dimana semua masukan sensoris diubah, diolah, disimpan atau digunakan. Pada demensia defisit kognitif multipleks dan global terjadi gangguan aktivitas neuro-transmiter termasuk.: sistem kholinergik, noradrenergik, serotonergik. Kerusakan jalur kholinergik didapatkan terutama di daerah basal forebrain, hipokampus dan amigdala. Diduga acetylcholine-transverase bertanggung jawab terhadap timbulnya gejala demensia berdasarkan atas fakta: 1. lesi jalur kholinergik atau pemberian obat yang mengganggu transmisi kholinergik menimbulkan penurunan fungsi memori, 2. skopolamin (bahan antagonis acetylcholine transverase) dapat mengakibatkan gangguan fungsi memori, 3. penurunan biosintesis acetylcholine transverase di hipokampus, amigdala, dan neokorteks sesuai dengan derajat kepadahan demensia, 4. penurunan jumlah reseptor kholinergik di hipokampus pada penyakit penyebab demensia.

KESIMPULAN

Penyalahgunaan NAPZA (drug abuse) dan merokok dapat berakibat terjadinya gangguan kognitif terutama memori serta merupakan salah satu faktor yang dapat memicu terjadinya gangguan pembuluh darah otak karena efek yang dapat ditimbulkannya terutama pada sistem kardiovaskuler.

DokTersenyum mengatakan...

terus tindak lanjute piye dok?

Your cOmment"s Here! Hover Your cUrsOr to leave a cOmment.