Sabtu, 24 Mei 2008

Mild Cognitive Impairment ( MCI ) pada penderita Stroke Infark dengan riwayat merokok dan Drug Abuse

Rikhy Andhani*Abdul Gofir**

*Peserta PPDS I Ilmu Penyakit saraf Fakultas kedokteran UGM
**Bagian Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
PENDAHULUAN
MCI (Mild Cognitive Impairment) merupakan “transitional State” (keadaan transisi) antara kognitif normal dan demensia, terutama demensia alzheimer. Penelitian untuk membandingkan rasio konversi ke demensia alzheimer pada subyek MCI dan subyek normal menunjukkan hasil bahwa subyek dengan MCI mempunyai risiko lebih tinggi untuk menjadi demensia daripada subyek kontrol dengan usia sebaya. Pasien MCI mempunyai risiko tinggi untuk menjadi alzheimer dengan rasio 10 sampai 12 persen setahun. Apabila dalam praktek ditemukan seorang pasien yang mengalami gangguan memori berupa gangguan ingatan tertunda (delayed recall) atau mengalami kesulitan mengingat kembali sebuah informasi walaupun telah diberikan bantuan isyarat semantik padahal pasien tersebut secara kognisi normal, maka perlu dipertimbangkan adanya MCI. Pada umumnya pasien MCI mengalami kemunduran dalam memori baru (recent memory).
Diagnosis MCI dibuat pada pasien dengan kriteria Petersen (1995) berikut : (a) adanya keluhan memori. (b) aktivitas hidup sehari-hari normal, (c) fungsi kognitif umum normal. (d) memori abnormal untuk usia. (e) tidak ada demensia1 .
Hill et al. (2003) melaporkan suatu studi di Swedia menunjukkan kemampuan kognitif yang rendah pada individu yang merokok dalam jangka waktu lama. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa rokok juga menyebabkan peningkatan risiko gangguan kognitif dan demensia7. Nikotin berefek pervasif pada kimia neuron otak. Mengaktivasi nicotinic acethylcoline receptors (nAchRs) yang tersebar di otak dan menginduksi pelepasan dopamin di nukleus accumben. Efek ini identik dengan penyalahgunaan narkoba dan dianggap sebagai mekanisme penyebab adiksi di otak

NAPZA
Penyalahgunaan Napza merupakan suatu pola penggunaan yang bersifat patologik, berlangsung dalam jangka waktu tertentu dan menimbulkan gangguan fungsi sosial dan okupasional. Istilah Napza (Narkotika, psikotropika, dan Zat adiktif lainnya) lebih tepat dibandingkan dengan istilah narkoba (narkotika dan obat berbahaya) karena didalam singkatan tersebut tercantum juga psikotropika, yaitu obat yang biasa digunakan untuk gangguan kesehatan jiwa namun yang sering disalahgunakan dan dapat menimbulkan adiksi. Napza dapat dikelompokkan dalam golongan opium dan non opium2 .
Ketergantungan narkotika dapat berupa ketergantungan fisik dan psikis. Ketergantungan fisik ditimbulkan akibat adaptasi susunan syaraf tubuh (neurobiologis) untuk menghadirkan narkotika yang ditandai dengan gejala putus narkotika. Ketergantungan psikis adalah pola perilaku yang sangat kuat untuk menggunakan narkotika agar memperoleh kenikmatan. Pada tingkat penyalahgunaan dan ketergantungan narkotika dapat menimbulkan konsekuensi-konsekuensi kesehatan yang serius. Tidak semua yang baru mencoba narkotika dapat menjadi ketergantungan. Ada beberapa tahap yang dilalui setelah mencoba dan menikmati narkotika yaitu menjadi pemakaian sosial yang bertujuan hanya untuk bersenang-senang saja. Peningkatan selanjutnya menjadi pemakaian situasi artinya menggunakan narkotika pada saat-saat tertentu misalnya untuk menghalau perasaan stres, depresi atau sedih. Namun bilamana dipakai terus menerus minimal 1 bulan tanpa indikasi medis atau telah terjadi gangguan fungsi sosial maka keadaan ini telah bersifat menyimpang atau patologis atau dikatakan telah menyalahgunakan narkotika (abuse). Tingkat terakhir merupakan tingkat ketergantungan dengan adanya toleransi tubuh dan timbulnya gejala putus narkotika bila pemakaian dihentikan atau dikurangi atau tidak ditambah dosisnya.
Akibat penggunaan berjangka lama dengan dosis yang cukup besar maka otomatis tubuh menyesuaikan diri dengan narkotika dengan cara membentuk keseimbangan baru. Suatu saat narkotika mendadak dihentikan maka segera terjadi kekacauan pada sistem keseimbangan tersebut dengan timbulnya reaksi hebat yang dikenal sebagai gejala putus narkotika. Gejala ini meliputi gejolak fisik maupun psikis. Timbul kaku otot, nyeri sendi, diare, mual, muntah, berdebar-debar, berkeringat, merinding, demam, menguap dan tidak bisa tidur. Pikiran saat itu hanya mendambakan narkotika (sugesti atau craving), perasaan atau suasana hati menjadi gelisah, cemas, lekas marah dan tidak nyaman atau disforia3.
Klasifikasi
Di dalam Undang-undang RI No. 2 tahun 1997 ini zat narkotika dibedakan menjadi 3 golongan:
1. Narkotika golongan I, misalnya : heroin, kokain, ganja.
2. Narkotika golongan II, misalnya : morfin, petidin dan derivatnya.
3. Narkotika golongan III, misalnya : kodein
Di dalam Undang-undang RI No. 5 tahun 1997 zat psikotropika dibedakan menjadi 4 golongan ialah:
1. Psikotropika golongan I, misalnya MDMA (Ekstasi), LSD, STP
2. Psikotropika golongan II, misalnya: amfetamin, fensiklidin, sekobarbital, metakuolon, metal-fenidat (Ritalin)
3. Psikotropika golongan III, misalnya : fenobarbital, flunitrazepam
4. Psikotropika golongan IV, misalnya: diazepam, klobazam, bromazepam, klonazepam, khlordiazepoksid, nitrazepam (BK, DUM, MG)
Napza dan efeknya terhadap sistem saraf
Zat psikotropika dibagi menjadi dua golongan ialah: golongan psikostimulansia dan golongan psikodepresansia.
Golongan Psikostimulansia
Narkotika
Zat ini meliputi 3 jenis ialah : opioid, kokain dan ganja.
Kokain
Bila seseorang menghirup kokain (inhalasi) atau merokoknya maka dengan cepat kokain akan didistribusikan ke dalam otak. Walaupun kokain mencapai seluruh bagian otak, tetapi yang paling banyak terkonsentrasi adalah pada bagian VTA, nucleus accumbens dan nucleus caudatus. Kokain terkonsentrasi pada daerah otak yang hanya kaya akan sinapsis dopamine. Bila kokain ada dalam sinapsis, terikat dengan proses pengambilan dopamine maka akan mencegah pengeluaran dopamine dari sinapsis dan lebih banyak reseptor dopamine yang aktif. Peningkatan aktivitas reseptor dopamine akan meningkatkan siklik AMP di dalam sel post sinaptik. Hal ini akan menyebabkan terjadinya perubahan di dalam sel, akibatnya sel tidak bekerja secara normal. Pada otak tidak terjadi metabolism glukosa sehingga menurunkan kemampuan neuron untuk menggunakan glukosa sebagai energy, akibatnya fungsi otak terganggu.

Ganja (kanabis, marijuana, hashish)
Bilamana seseorang merokok mariyuana, bahan aktifnya yaitu cannabinoid atau THC, cepat terdistribusikan ke otak. Ventral tegmental area (VTA), nucleus accumbens, hippocampus dan serebelum adalah area tempat THC terkonsentrasi. THC terikat dalam reseptor protein yang terkonsentrasi tersebut. Kerja THC dalam hipokampus adalah mengganggu system memori, sedangkan dalam serebelum dapat menyebabkan inkoordinasi saraf dan hilangnya keseimbangan. Beberapa penelitian terus dilakukan dan ternyata nucleus accumbens sering terkena. Ada tiga neuron yang terlibat dalam proses tersebut, yaitu terminal dopamine, terminal GABA dan post sinaptik yang mengandung reseptor dopamine. THC akan berikatan dengan reseptornya pada terminal didekatnya dan mengirimkan signal ke terminal dopamine, sehingga terminal tersebut mengeluarkan dopamine. Begitu dopamine terbebaskan, terjadilah peningkatan produksi siklik cAMP di dalam sel post sinaptik yang akan mengganggu aktivitas normal dari neuron.
Reseptor THC berlokasi di hipokampus dan korteks serebri berpengaruh terhadap konsentrasi dan memori, serebelum dan ganglia basale menyebabkan gangguan motorik, amygdale, dan hypothalamus dapat mempengaruhi napsu makan.
Ekstasi
Ekstasi berpotensi merusak reseptor serotonin dan juga neuron serotonin dalam otak. Serotonin adalah system kimia saraf yang mengatur emosi, perasaan, berpikir, mengingat (memory) dan tidur. Dalam satu jam setelah mengkonsumsi ekstasi, kantong kecil dalam terminal akson yang mengandung serotonin membebaskan sejumlah besar serotonin ke dalam sinapsis. Serotonin kemudian terikat dalam transporter membrane akson. Sekitar 3 jam kemudian transporter serotonin mengambil serotonin dari sinapsis kemudian dipecah oleh enzim monoamine oksidase, tetapi masih banyak serotonin aktif dalam reseptor.
Gejala pertama pengaruh ekstasi adalah depresi, kerusakan otak, gelisah, nausea, berkeringat dingin dan kerusakan hati. Berpikir lambat, gangguan memori karena berkurangnya serotonin dan dopamine dalam jangka waktu yang lama2 .

KASUS
Seorang laki-laki usia 40 tahun datang ke Klinik Memori RSUP Dr. Sardjito (2 Februari 2008) dengan keluhan mudah lupa, sejak kurang lebih 7 tahun sebelum datang ke klinik memori pasien mulai mengkonsumsi ganja yang dicampurkan dalam rokok, shabu-shabu dengan cara dihirup, serta ekstasi yang dikonsumsi hampir setiap hari. Setiap menggunakan barang-barang tersebut, pasien merasa seperti melayang, rasa gembira yang berlebihan, badan terasa enak, tidak mudah lapar. Menurut pengakuan pasien, jika tidak menggunakan barang-barang tersebut, pasien akan merasa nyeri pada sendi-sendi tubuh, keringat dingin, merasa seperti perasaannya tertekan, gemetar, gelisah, susah tidur, mual dan lemas. Tidak ada gangguan tingkah laku, gangguan berpikir, dan gangguan emosi.
Kurang lebih 4 tahun sebelum datang ke klinik memori, pasien mengeluh mudah lupa akan kejadian atau kegiatan yang baru saja dilakukan pada hari itu seperti lupa dimana meletakkan sesuatu dan terkadang akan mencarinya ditempat yang salah. Pasien juga mengeluh mudah lupa akan barang bawaannya, yang terkadang sering tertinggal padahal sudah disiapkan oleh pasien pada hari itu. Untuk ingatan akan tanggal lahirnya, nama-nama orang terdekatnya dan keluarganya, serta kejadian masa lalu tidak ada gangguan. Perubahan tingkah laku dan emosi disangkal.
Kurang lebih 6 bulan sebelum datang ke klinik memori, karena dirinya dicalonkan sebagai lurah, maka pasien memutuskan untuk berhenti mengkonsumsi napza. Selama tidak mengkonsumsi napza diakui oleh pasien bahwa saat itu badan terasa tidak enak tetapi karena adanya kemauan dari diri sendiri, semua hal itu dapat dilawan. Setelah berhenti mengkonsumsi barang tersebut, keluhan mudah lupa masih menetap. Pada saat memberikan uang pada seseorang terkadang pasien akan memberikannya untuk yang kedua kalinya. Saat mempunyai janji, pasien juga terkadang lupa sehingga pasien menggunakan handphonenya sebagai reminder. Saat menyampaikan informasi kepada seseorang terkadang pasien akan menyampaikannya sampai 2 kali.
Kurang lebih 2 bulan sebelum datang ke klinik memori, saat duduk, tiba-tiba pasien merasa lemas anggota gerak kanannya, untuk berjalan harus diseret, pasien tidak mengeluh nyeri kepala, muntah, pelo, perot, serta kejang, dan pasien langsung berobat ke Rumah Sakit Sardjito dan dirawat di unit stroke serta dilakukan scan kepala dengan hasil adanya infark serebri di region temporalis sinistra. Pasien mengalami kelemahan anggota gerak sisi kanan. Pasien dirawat selama 8 hari. Kondisi saat pulang, kelemahan anggota gerak sisi kanannya membaik, jalan sudah tidak diseret tetapi masih terasa berat untuk berjalan.
Kurang lebih 2 minggu sebelum datang ke klinik memori, karena terpilih sebagai lurah, pasien mulai aktif menjalankan kegiatannya di kantor. Pasien merasa tidak ada hambatan dalam melakukan pekerjaannya namun terkadang setiap akan membuka suatu acara pasien merasa sedikit kurang konsentrasi. pasien merasa penyakit mudah lupa akan kejadian yang baru saja dilakukan makin memberat yang ditandai dengan adanya teguran dari beberapa orang disekitarnya tentang perubahan itu. pasien juga merasa adanya gangguan dalam berhitung yaitu tidak bisa secepat sebelumnya dalam hal menjumlahkan, mengurangi, membagi serta mengalikan angka. Pasien masih dapat membedakan tanda tambah, kurang, bagi dan kali. Masih dapat membedakan angka yang terbesar, tidak ada gangguan melihat angka di jam tangan atau jam dinding, tidak ada kesulitan dalam melakukan pembukuan keuangan, tidak mengalami kesulitan dalam memperkirakan jarak dari rumah ke kantor, Saat menghitung dengan menggunakan kalkulator tidak ada gangguan. Tidak ada gangguan dalam membedakan kiri dan kanan, dapat membedakan angka salah satu angka terbesar, tidak merasa phobia dengan matematika. Pasien mempunyai penyakit hipertensi sudah 10 tahun, tidak kontrol rutin, riwayat merokok sejak 25 tahun dan sejak sakit stroke (2 bulan sebelum datang ke klinik memori) sudah berhenti, tidak ada riwayat trauma kepala dan nyeri kepala sebelumnya. Hasil pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum cukup baik dengan gizi cukup, tidak didapatkan gangguan pada saraf kranialis, reflek primitif tidak ditemukan, gejala sisa stroke yaitu spastisitas pada anggota gerak sisi kanan tanpa perberatan kelemahan, tanda gangguan keseimbangan tidak didapatkan.
MMSE : 23 CDT : 1 (tgl 9 November 2007 : Saat dirawat di Unit Stroke Rs Dr Sardjito)
MMSE : 24 CDT: 4 (tgl 15 Januari 2008 saat datng ke Klinik Memori)
Tes Fungsi Luhur : Orientasi baik, gangguan atensi ringan, gangguan memori (recent memory) dan new learning ability ringan
Kesimpulan : MCI pada penderita Stroke Infark dengan riwayat merokok dan drug abuse
Saran : Stimulasi kognitif
Donepezil 1×1 tablet
Token Test ? score 35 ? tidak ada gangguan
FAQ ? I. total score 0 = mandiri (Keluarga)
II. total score 3 = mandiri (Teman kerja)
IADL ? total score 0 = tidak perlu / mandiri
ADL ? total score 0 = tidak perlu / mandiri
Hachinski Skor ? total score 15 = vascular dementia
HRSD = 5 ? tidak ada depresi
HRSA = 1 ? tidak ada kecemasan

PEMBAHASAN
Pasien adalah seorang pengguna kokain juga ganja selama tujuh tahun dan mengaku ada rasa ingin mengkonsumsi barang tersebut. Gejala yang sering terlihat pada penderita adiksi kokain adalah: tekanan darah yang meningkat yang dapat mengakibatkan infark pada otak, jantung berdenyut cepat sehingga dapat mengakibatkan serangan jantung, stroke. Pengaruh ganja dan kokain pada tubuh adalah selain meningkatkan tekanan darah, dapat mengakibatkan terjadinya peningkatan denyut jantung sehingga akan terjadi gangguan kardiovaskuler, dan bila mana keduanya digunakan bersama-sama, maka efeknya akan meningkatkan denyut jantung menjadi 49x/menit, bilamana digunakan ganja saja maka denyut jantung akan meningkat menjadi 29x/menit, bila kokain saja 32x/menit. Peningkatan denyut jantung tersebut akan berlanjut dalam waktu lama. Dari uraian diatas masih ada kemungkinan terjadinya stroke infark pada pasien diakibatkan penyalahgunaan NAPZA (drug abuse) dan riwayat merokok yang berakibat terjadinya gangguan kognitif terutama memori dan diperberat dengan adanya gangguan pembuluh darah otak yang berdasarkan pemeriksaan fungsi luhur dapat diambil kesimpulan pasien mengalami gangguan kognitif ringan (Mild Cognitive Impairment).
Kriteria mudah lupa (forgetfulnes) : (1). mudah lupa nama benda, nama orang, (2). Terdapat gangguan dalam mengingat kembali (recall). (3). Terdapat gangguan dalam mengambil kembali informasi yang telah tersimpan dalam memori (retrieval). (4). Tidak ada gangguan dalam mengenal kembali sesuatu apabila dibantu dengan isyarat (clue) (recognition). (5). Lebih sering menjabarkan fungsi atau bentuk daripada menyebutkan namanya (circumlocution)1.
Pengaruh toksisitas dari ganja (THC) karena cepat terdistribusikan ke otak dan terkonsentrasi di VTA, nucleus accumbens, dan hipokampus, yang mana THC akan terikat dalam reseptor protein, sehingga kerja THC dalam hipokampus dan korteks serebri adalah mengganggu system memori dan berpengaruh terhadap konsentrasi dan perhatian yang menurun karena adanya gangguan aktivitas dari neuron. Pengaruh ekstasi juga dapat mengakibatkan terjadinya gangguan memori karena berkurangnya serotonin dan dopamine2.
Sistem lobus temporal mempunyai peranan penting dalam memori. Adanya reseksi bilateral struktur medial lobus temporalis, termasuk dua pertiga anterior hipokampus, girus posthipokampal, dan amigdala dapat mengakibatkan terjadinya amnesia anterograde yang mana hilangnya kemampuan menyimpan memori baru, tidak dapat mengingat nama-nama seseorang yang pernah dijumpai sebelumnya, Hilangnya memori tentang kejadian-kejadian yang terjadi sebelumnya, adanya masalah dalam kapasitas memori, sebagai contoh jika berkonsentrasi dan tidak mengalami gangguan, dia dapat mengingat seperti urutan angka pendek, selama kurang lebih 15 menit, tetapi begitu ada gangguan, seketika itu juga ingatannya akan lenyap dari memorinya. Sehingga pasien tersebut tidak mempunyai kemampuan untuk menyimpannya dalam waktu yang singkat yang mana kita sebut sebagai working memory atau memori untuk kejadian yang baru saja terjadi atau disebut juga dengan recent memory4 hal ini seperti yang dialami oleh pasien.
VASCULAR COGNITIVE IMPAIRMENT (VCI)
Adalah kondisi awal sebuah demensia vaskuler yang belum lama dikembangkan. Dalam klinik kondisi sejenis ini cukup banyak dijumpai. Contoh: seorang pasien dengan gejala hipertensi yang kronik yang menunjukkan gejala kognitif berupa gangguan memori dan pada evaluasi fungsi luhur ditemukan adanya gejala kognitif lain. Pada imajing dijumpai adanya kelainan yang sesuai dengan gangguan vaskuler subkortikal. Namun pasien belum menunjukkan adanya criteria yang cukup untuk digolongkan sebagai demensia. Diagnosis klinis adalah adanya sindrom kognitif berupa dieksekutif sindrom dan defisit memori. Ditambah bukti jelas adanya cerebrovaskular disease oleh imajing otak dan adanya riwayat gejala neurologis. Mekanisme primer vascular cognitive impairment berdasarkan penyakit pembuluh darah kecil. Ada dua cara berkaitan dengan lesi ini. Cara pertama berupa oklusi tunggal arteriola atau lumen arteriol yang menimbulkan infark lakuner lengkap. Cara kedua berupa stenosis kritis pembuluh darah kecil yang multiple yang menimbulkan hipoperfusi dan infark tidak lengkap. Letak infark penting artinya, walaupun tidak konsisten. Letak infark yang amat penting untuk dapat menyebabkan gangguan kognitif adalah lesi bilateral, sisi kiri, thalamus, serebral anterior dan frontal. Untuk esesmen VCI ditekankan untuk executive control function. Yang terakhir ini menekankan kemampuan kognitif untuk perencanaan, inisiatif, urutan dan pemantauan perilaku yang terarah dan kompleks. Untuk tujuan praktis, skrining test VCI dapat mempergunakan MMSE ditambah dengan executive Clock Drawing Task. Kriteria lanjut adalah bahwa VCI harus mempunyai resiko vaskuler (hipertensi, diabetes dan kolesterol tinggi), atau pernah mengalami gangguan serebrovaskuler6. Suatu penyakit vaskuler termasuk stroke dapat menyebabkan suatu defisit kognisi ringan sampai berat (Hachinski, 2002). Penyakit vaskuler dapat mengakibatkan terjadinya efek difus atau fokal pada otak yang mengakibatkan gangguan kognitif. Bagian otak yang berhubungan dengan kemunduran kognitif adalah white matter pada hemisfer serebri, jaringan abu-abu terutama striatum dan thalamus. Hipertensi merupakan penyebab utama lesi difus. Tiga hal yang utama berpengaruh pada mekanisme terjadinya demensia vaskuler adalah infark kortikal multiple, single infark dan penyakit pembuluh darah kecil5. Definisi kognitif adalah salah satu aspek fungsi luhur otak yang dimaksudkan sebagai suatu proses dimana semua masukan sensoris diubah, diolah, disimpan atau digunakan. Pada demensia defisit kognitif multipleks dan global terjadi gangguan aktivitas neuro-transmiter termasuk.: sistem kholinergik, noradrenergik, serotonergik. Kerusakan jalur kholinergik didapatkan terutama di daerah basal forebrain, hipokampus dan amigdala. Diduga acetylcholine-transverase bertanggung jawab terhadap timbulnya gejala demensia berdasarkan atas fakta: 1. lesi jalur kholinergik atau pemberian obat yang mengganggu transmisi kholinergik menimbulkan penurunan fungsi memori, 2. skopolamin (bahan antagonis acetylcholine transverase) dapat mengakibatkan gangguan fungsi memori, 3. penurunan biosintesis acetylcholine transverase di hipokampus, amigdala, dan neokorteks sesuai dengan derajat kepadahan demensia, 4. penurunan jumlah reseptor kholinergik di hipokampus pada penyakit penyebab demensia.

KESIMPULAN

Penyalahgunaan NAPZA (drug abuse) dan merokok dapat berakibat terjadinya gangguan kognitif terutama memori serta merupakan salah satu faktor yang dapat memicu terjadinya gangguan pembuluh darah otak karena efek yang dapat ditimbulkannya terutama pada sistem kardiovaskuler.

Baca selengkapnya >>

Senin, 19 Mei 2008

Peranan Polimorfisme Apolipoprotein E pada Demensia

Riki Sukiandra, Samekto Wibowo, Abdul Gofir

Bagian Ilmu Penyakit Saraf, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada


PENDAHULUAN

Prevalensi demensia cenderung meningkat sejalan dengan usia harapan hidup dan peningkatan pelayanan kesehatan pada usia lanjut. Hasil penelitian Canadian Health Study and Aging menunjukkan bahwa prevalensi demensia 8% pada usia >65 tahun, insidensinya sekitar 2% pertahun. Cognitive Impairment Not Dementia prevalensinya sekitar dua kali lipat pasien demensia dan akan berkembang menjadi demensia sekitar 47%. Kurang lebih dua pertiga (64%) dari demensia adalah penyakit Alzheimer sedangkan sisanya sekitar 19% adalah demensia vaskuler. Faktor risiko pada penelitian tersebut adalah usia, pendidikan rendah dan alel 4 apolipoproteinE. Biaya yang dikeluarkan untuk perawatan pasien demensia 3,9 juta dollar pada tahun 19911.Penelitian epidemiologi di Inggris menunjukkan bahwa demensia meningkat 5 kali lipat setiap kenaikan usia 5 tahun, pada usia 35-64 tahun prevalensinya 54 per 100 ribu, usia 45-64 tahun 98 per 100 ribu 2. Tahun 2002 diperkirakan 167.000 orang di Australia menderita demensia 3. Prevalensi di Amerika dan negara Eropa lainnya menunjukkan angka yang tidak berbeda 4. Penyakit Alzheimer merupakan penyakit neurodegeratif yang paling umum, penyakit ini memberikan kontribusi dua pertiga dari seluruh kasus demensia (41-81%) disamping penyebab vaskuler dan penyakit neurodegeneratif lain seperti penyakit Pick dan demensia Lewy-bodies yang masih menjadi penyebab utama demensia lainnya.5

ApolipoproteinE4 (apoE4) merupakan faktor risiko utama penyebab Alzheimer’s disease (AD). Penelitian biomolekuler menunjukkan kontribusi apoE4 pada patogenesis AD 6. Termasuk didalamnya modulasi deposisi dan klirens peptida - amyloid (A ) dan pembentukan plak , kerusakan dari sistem pertahanan antioksidatif, disregulasi dari jalur signal neuronal , kerusakan struktur dan fungsi sitoskletetal, kerusakan pada fosforilasi tau dan pembentukan neurofibrillary tangles (NFTs), kerusakan reseptor sitosolik androgen diotak dan merangsang potensiasi perlengketan A dan apoptosis pada sel neuron 7,8 . ApolipoproteinE (apoE) adalah protein yang memainkan peran penting dalam metabolisme dan distribusi lemak. Alel e4 apoE telah dikenal meningkatkan resiko penyakit Alzheimer namun belum diketahui apakah alel apoE ini juga dapat meningkatkan resiko demensia vaskuler pada populasi Indonesia, khususnya suku Jawa.. Karena itu pada penelitian yang dilakukan 9 . Genotipe apoE pada penderita demensia vaskuler akan dibandingkan dengan genotipe apoE kontrol normal untuk melihat kemungkinan resiko genetik alel ini pada onset awal timbulnya demensia vaskuler.

Struktur dari gen apoE berbentuk polimorf dengan 3 alel utama, 2, 3, dan  yang menghasilkan 3 protein isoform, E2, E3 dan E4. Ketiga bentuk isoform ini terletak dalam rangkaian asam amino pada posisi 158. ApoE3 terdiri dari sistein pada rangkaian 12 dan arginin pada 158. ApoE2 memiliki sistein pada kedua sisinya, dan E4 mempunya arginin pada kedua sisinya. Polimorfisme apomempunyai efek kuat pada level produksi dari alel gen tersebut, berhubungan dengan tingginya konsentrasi apoE dan dengan konsentrasi rendah 10 . Genotip apoE alel 4 dibutuhkan dan memenuhi untuk terjadinya penyakit Alzheimer tetapi terdapat 3 atau 4 gen lain yang mempengaruhi onset penyakit ini. Analisis hubungan genetik dan penelitian lain terhadap ratusan keluarga telah menghasilkan bukti sejumlah regio kromosom yang berhubungan dengan penyakit Alzheimer. Pengaruh lingkungan tidak dapat diabaikan sehingga hubungan genetik dan lingkungan masih diperdebatkan. Identifikasi faktor genetik spesifik dan faktor lingkungan, mengetahui hubungan interaksi keduanya dan kalkulasi risiko penyakit menjadi hal utama yang diperdebatkan dengan tujuan terapi dan pencegahan penyakit Alzheimer ini 7,8 .



PEMBAHASAN


Manusia memiliki tiga homozigot apoE yaitu apoE2/2,E3/3 dan E4/4, tiga rangkaian heterozigot yaitu apoE3/2, E4/3, dan E4/2. Fenotip apoE3/3 merupakan paling fenotip yang paling sering ditemukan yaitu sekitar 50-70% dari seluruh populasi. Alel 3 ditemukan pada mayoritas populasi yaitu sekitar 70-80%, alel 4 dan 2 ditemukan pada 10-15% dan 5-10% populasi. Dasar molekular dari polimorfisme dijelaskan berdasarkan rangkaian analisis asam amino, dimana terdapat tiga isoform yang berbeda pada posisi 112 dan 158. ApoE3 terdiri Cys-112 dan Arg-158, dimana apoE4 terdiri dari arginin pada kedua posisinya dan sistein apoE2 10 .

Apolipoprotein E memiliki peranan penting dan luas dalam bidang neurobiologi. Otak merupakan organ yang memiliki kadar apo mRNA terbanyak kedua setelah hati, diotak apoE disintesis dan disekresikan terutama melalui astrosit namun beberapa neuron juga mensintesis dan mensekresikan apoE. ApoE terdiri dari high-density lipoproteins (HDL) dan dapat ditemukan dalam cairan serebro spinal (CSS) 10,11. ApoE3 dan apoE4 mempunyai efek yang berbeda pada neuron, apoE3 dengan β-very low-density lipoproptein (β-VLDL) secara signifikan meningkatkan pertumbuhan neuron pada ganglion dorsalis, sedangkan apoE4 dengan β-VLDL menghambat percabangan dan pertumbuhan neuron. ApoE4 berhubungan dengan penghambatan dari pertumbuhan neuron yang kemudian berpengaruh pada stabilitas mikrotubulus yang diperantarai oleh cell-surface lipoprotein receptor , khususnya pada jalur reseptor low density lipoprotein 11 .

Beberapa hipotesis menunjukkan bahwa apoE memegang peranan penting pada pemeliharaan dan perbaikan neuron, dalam hal ini apoE3 lebih efektif dibandingkan apoE4. ApoE mengambil sisa lemak yang tejadi akibat degenerasi neuron dan menyalurkannya kepada sel-sel yang membutuhkan lemak untuk proliferasi, perbaikan membran atau remielinisasi pada akson baru 12 . ApoE3 pada manusia bersifat protektif terhadap kejadian neurodegeneratif dan gangguan behavior yang disebabkan usia, eksitosisitas atau Aβ 13 .

Awalnya para ahli berpendapat bahwa ApoE disintesis oleh astrosit, oligodendrosit, mikroglia yang teraktivasi serta sel ependimal dan tidak diproduksi oleh neuron otak 14 . Laporan terbaru menunjukkan dengan jelas bahwa neuron sistem saraf pusat (SSP) juga mengekspresikan apoE dengan kadar yang lebih rendah dibandingkan astrosit, hal ini dapat terjadi pada berbagai keadaan baik kondisi fisiologis maupun patologis. Kedua protein apoE dan mRNA ditemukan di dalam neuron hipokampus dan korteks 15 . Pada tikus yang mendapatkan perlakukan dengan kainic acid, ekspresi apoE terpicu di dalam neuron hipokampus yang selamat dari stres eksitotoksik, sebagaimana yang terjadi pada penelitian dengan hibridisasi in vitro dan immunohistokimia anti-apoE 16 . Ekspresi apoE neuronal lebih sering terjadi pada keadaan patologis seperti infark serebral 17 . ApoE juga diekspresikan di dalam kultur primer neuron sistem saraf pusat manusia 18 . Penelitian biomolekuler menunjukkan bahwa ekspresi neuronal apoE dapat diatur dan dikendalikan dengan diferensiasi oleh nerve growth factor yang diturunkan selama diferensiasi neuronal dan dengan penambahan apoE eksogen kedalam medium 19 . Demikian juga, ekspresi apoE di dalam sel N-Terminal, protein prekursor neuronal diturunkan oleh diferensiasi yang dipicu oleh retinoic acid 20 . Penelitan lain menunjukkan bahwa ekspresi apoE di dalam sel neuronal mungkin diregulasi melalui jalur sinyal protein kinase yang diaktivasi saat pembelahan sel 21 .

Keadaan patologis seperti cedera yang terjadi pada sistem saraf pusat ekspresi akan memacu apoE neuronal untuk memperbaiki perbaikan neuron dan untuk melindungi neuron dari cedera yang lebih lanjut 22 . Cedera ini juga menyebabkan apoE4 rusak karena lebih rentan terhadap proteolisis patogenik di dalam neuron , sehingga respon protektif ini justru merusak apoE4 14,23 . Produksi berlebihan dari Aβ dianggap memainkan peran sentral dalam patogenesis AD 24 . ApoE3 dan apoE4 yang bebas lipid dapat membentuk sebuah kompleks SDS- dan guanidine-HCL dengan peptida Aβ, dari hasil penelitian tersebut ditemukan bahwa kompleks pada isoform apoE4 lebih cepat dan efektif dibandingkan isoform lain 25 . Inkubasi dengan waktu yang lama antara apoE dengan peptida Aβ menghasilkan kompleks yang tidak larut dan memiliki berat molekuler yang tinggi sehingga sulit mengalami presipitasi. ApoE4 membentuk sebuah matriks yang lebih luas dan lebih padat dengan amyloid monofibril, hal ini terjadi lebih cepat dan efektif dibandingkan apoE3, apoE4 juga memperkuat agregasi Aβ yang dipicu zinc dan cuprum 26 . ApoE menunjukkan perbedaan spesifik isoform dalam ikatannya dengan peptida Aβ, dimana apoE4 mengikat lebih cepat dan efektif. Peningkatan pembentukan amyloid fibril oleh apoE4 menyebabkan eksaserbasi neurodegenerasi dan perkembangan AD 27 .

Tabel 1. Efek apoE4 yang Dihasilkan oleh Astrosit dan Neuron pada Sistem Saraf Pusat 23 .



Efek apoE4

Astrosit

Produksi Aβ

Endapan Aβ

Klirens Aβ

Pertumbuhan neuron

Pengeluaran kolesterol

Penurunan kognitif

Neuron

Neurotoksisitas berhubungan dengan fragmentasi

Pertumbuhan neuron

Kebocoran lisosom

Neurodegenerasi

Defisiensi reseptor androgen

Penurunan fungsi kognitif

Fosforilasi protein tau

Efek isoform apoE terhadap neurotoksisitas yang dipicu Aβ masih kontroversial, kemungkinan karena perbedaan keadaan fisik Aβ, apoE yang digunakan dan asal penanganan sel. Apolipoprotein E3 memberikan perlindungan dari kematian sel dan apoptosis yang dipicu Aβ dengan memperkuat klirens dan degradasi Aβ 28 atau dengan mengurangi interaksi Aβ dengan membran permukaan sel. Sebaliknya, apoE4 memicu kebocoran lisosom, kematian sel, dan apoptosis yang dipicu Aβ 29 .

Penelitian pada tikus transgenik yang mengekspresikan apoE3 atau apoE4 yang dihasilkan oleh manusia telah memberikan pandangan mendalam mengenai peran apoE di dalam metabolisme Aβ. Ketika tikus dengan human amyloid precursor protein (hAPP)-V717F disilangkan dengan latar belakang tanpa apoE, deposisi Aβ di dalam otak mengalami penurunan secara dramatis, menunjukkan bahwa apoE memperkuat deposisi Aβ 30 . Ekspresi apoE3 manusia menurunkan deposisi Aβ, menunjukkan bahwa apoE manusia menstimulasi klirens Aβ. ApoE3 melakukan klirens Aβ lebih banyak daripada apoE4 31 . Penelitian pada tikus menunjukkan hasil yang berbeda, ekspresi berlebihan apoE4 di dalam astroglia dan neuron tidak mengubah deposisi Aβ 32 .

Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa efek utama isoform apoE pada patogenesis AD melalui pembentukan plak 31,32 . Pengaturan defisit kolinergik dan sinaptik yang menyerupai AD pada tikus transgenik oleh apoE manusia diketahui tergantung pada isoform, penuaan, dan ekspresi berlebihan peptida Aβ tetapi tidak pada pembentukan plak 33 . Penelitian terakhir menunjukkan defisit kolinergik dan sinaptik yang berhubungan dengan apoE4 (12-15 bulan) mendahului pembentukan plak (19-24 bulan), dan meski perbedaan mereka yang nyata di dalam beban plak (> 10 kali lipat), tikus bigenik dengan hAPP/apoE4 dan hAPP/apoE3 tua (19-24 bulan) memiliki defisit kolinergik dan sinaptik yang sebanding. Hasil dari percobaan tersebut diatas menunjukkan bahwa apoE3 mampu mencegah gangguan kognitif yang dipicu hAPP/Aβ pada tikus bigenik hAPP/apoE yang berumur 6 bulan yang tidak memiliki plak dan kadar Aβ yang sebanding di dalam hipokampus 13,34 . Ketergantungan terhadap usia dari efek apoE3 dan apoE4 yang berbeda pada tikus sama dengan efek isoform apoE pada manusia, dimana dampak apoE4 terhadap resiko AD lebih besar pada penuaan awal dan hilang pada yang sangat tua 34 . Berdasar penelitian, didapatkan suatu hipotesis bahwa efek apoE ini terhadap defisit neuronal yang berhubungan dengan AD mencerminkan fungsi neuroprotektif apoE3 dan efek neurotoksik fragmen apoE4 di dalam neuron 34,35 .

Tabel 2. Efek protektif dari apoE3 dan efek perusak apoE4 pada penyakit Alzheimer 33 .


Efek

Efek protektif apoE3

Stimulasi klirens Aβ

Efek antioksidan

Proteksi protein tau terhadap fosforilasi

Merangsang pengeluaran kolesterol

Merangsang pertumbuhan neuron

Proteksi terhadap neurodegenerasi

Proteksi terhadap penurunan kognisi

Efek apoE4

Memperbesar endapan Aβ

Menghambat pertumbuhan neuron

Merangsang fosforilasi protein tau

Menyebabkan neurodegenerasi

Menyebabkan neurodegenerasi oleh fragmen apoE4

Meningkatkan potensi kebocoran lisosom yang diinduksi Aβ

Menurunkan reseptor androgen

Menyebabkan penurunan kognisi
























Protein tau secara abnormal mengalami hiperfosforilasi melalu mekanisme yang sampai saat ini belum diketahui dan dirubah menjadi filamen heliks berpasangan yang bersifat patologis untuk kemudian menghasilkan NFT 14,35 . Hiperfosforilasi protein tau yang disebabkan oleh mutasi di dalam gen menyebabkan neurodegenerasi dan neuronal loss pada percobaan yang menggunakan tikus transgenik 36 . Hal ini menunjukkan bahwa protein tau yang mengalami fosforilasi bersifat neurotoksik. Sebuah penelitian baru menunjukkan bahwa protein tau berperan penting dalam neurotoksisitas yang dipicu Aβ 37 . Hiperfosforilasi protein tau akan menurunkan perubahan protein tau menjadi filamen heliks berpasangan 21,38 . Bukti penelitian in vitro dan in vivo menunjukkan bahwa apoE3 dan apoE4 memiliki efek yang berbeda terhadap fosforilasi dan agregasi protein tau.

Secara in vitro, apoE3 membentuk kompleks stabil dengan protein tau dengan rasio 1:1, sedangkan apoE4 tidak berinteraksi secara signifikan. Fosforilasi protein tau oleh otak akan menghambat interaksi apoE3 dengan protein tau , menunjukkan bahwa apoE3 berikatan dengan protein tau nonfosforilasi. Domain N-terminal dari apoE3 bertanggung jawab atas ikatan dengan protein tau . ApoE3 berikatan secara irreversibel dengan microtubule-binding repeat region dari protein tau 8,38 . Peningkatan fosforilasi protein tau telah teramati di dalam percobaan dengan tikus trasgenik yang mengekspresikan apoE4 manusia, namun hal ini tidak tampak pada tikus yang mengekspresikan apoE4 di dalam astrosit 39 . Apolipoprotein E4 memiliki efek spesifik terhadap fosforilasi tau. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa apoE dengan C-terminal yang terpotong dapat menstimulasi fosforilasi tau dan membentuk inklusi menyerupai NFT intraseluler pada tikus transgenik 21,39 .

Apolipoprotein E4 lebih rentan terhadap efek proteolitik dibandingkan apoE3. Hal ini terlihat ketika diekspresikan di dalam sel neuronal dalam bentuk rekombinan dengan enzim pembelah apoE dengan purifikasi parsial. Fragmen apoE didapatkan dalam tingkat yang lebih tinggi di dalam otak pasien AD dibanding kontrol. Kasus AD maupun kontrol dengan apoE4 memiliki lebih banyak fragmen apoE daripada mereka tanpa apoE4. Fragmen apoE dengan C-terminal yang terpotong juga tampak terakumulasi di dalam NFT otak penderita AD. Penelitian in vitro menunjukkan bahwa fragmen apoE dengan C-terminal akan bersifat toksik ketika diekspresikan di dalam neuron atau ketika ditambahkan pada kultur neuronal, berakibat pada kematian sel dan pembentukan inklusi menyerupai NFT sitoplasmik di dalam beberapa sel 23 .

Penelitian yang menggunakan promotor neuron-spesific enolase (NSE) untuk mengekspresikan apoE3 atau apoE4 pada kadar yang sama dengan dan tidak memiliki apoE endogen, memberi hasil bahwa kontrol tipe NSE-apoE4 menunjukkan gangguan belajar dengan percobaan water maze test dan pada perilaku eksplorasi vertikal. Gangguan ini meningkat seiring degan umur dan terjadi terutama pada penelitian yang menggunakan tikus transgenik apoE4 betina, menunjukkan bahwa isoform apoE manusia memiliki efek yang berbeda pada fungsi otak secara in vivo dan kerentanan terhadap defisit yang dipicu apoE4 sangat dipengaruhi oleh umur dan jenis kelamin 13,33 . Penelitian morfologis terhadap tikus transgenik menunjukan bahwa apoE3 mencegah neurodegenerasi tergantung umur dan mencegah neurodegenerasi yang dipicu kainic acid 33 . ApoE4 manusia tidak memiliki proteksi. Gangguan memori kerja juga teramati di dalam astrosit yang mengekspresikan apoE4, meski tidak ada perubahan neuropatologis yang signifikan yang ditemukan di dalam otak 33,40,41 .

SIMPULAN


Proses neurobiologi penyakit Alzheimer diawali oleh faktor genetik. Apolipoprotein E merupakan salah satu faktor genetik yang mencetuskan terjadinya penyakit Alzheimer, terutama pada individu yang memiliki alel apoE4. Tipe apoE yang lain justru lebih berperan terhadap fungsi proteksi terhadap penyakit Alzheimer. Fakto genetik diatas akan berinteraksi dengan faktor luar yaitu lingkungan dan diet. Interaksi dari faktor tersebut menghasilkan proses patologi di sinaps dan neuron yang menginduksi suatu proses disfungsi sinaps dan apoptosis, yang akan menghasilkan gejala klinis suatu Alzheimer.


SARAN

Pengetahuan tentang neurobiologi dari faktor genetik penyakit Alzheimer serta tindakan preventif terhadap faktor risiko yang dapat dikendalikan yaitu lingkungan dan diet perlu dilakukan untuk mencegah progresifitas penyakit. Penelitian lebih lanjut dalam pengembangan terapi demensia berdasarkan mekanisme keterlibatan apoE.



DAFTAR PUSTAKA


  1. Lindsay, J. Sykes, E., Mc Dowell. I., Verreault, R. and Laurin, D., 2004. More han the Epidemiology of Alzheimer’s Disease : Contribution of the Canadian Study of Health and Aging. Can J Psychiatry 2004; 49: 83-91.

  2. Harvey, RJ., Skelton-Robinson M and rosser MN,. The Prevalence and Causes of Dementia in people Under the Age of 65 Years. J. Neurol. Neurosurg. Psychiatry 2003;74; 1206-1209.

  3. Hacker, S., The Impact of Dementia. Australian InstituteOf Health and Welfare. 2004

  4. Hendrie, H.C., Epidemilology of Dementia and Alzheimer Disease. Am J Geriatr Psychiatry1998 ; 6 : S3-S18

  5. Guttmacher, A.E., and Collins, F.S., Alzheimer’s Disease and Parkinson’s disease. N Engl J Med 2003; 348 : 1356-64.

  6. Aazl, Konsensus Nasional Pengenalan dan Penatalaksanaan Alzheimer dan Demensia lainnya, Edisi 1, Asosiasi Alzheimer Indonesia, 2003.

  7. Bird, T.D., Genetic Factors in Alzheimer’s Disease. N Engl J Med 2005; 352 (9) : 862-4.

  8. Strittmatter W. J., Schmechel D. E., Gaskell P. C., Corder E. H., Saunders A. M., and Small G. W., Gene dose of apolipoprotein E type 4 allele and the risk of Alzheimer’s disease in late onset families. Science 1993 ; 261, 921–923.

  9. Coleman, P., Federoff, H. and kurlan R., A focus on the synapse for neuroprotection in Alzheimer disease and other dementia. Neurology 2004; 63 : 1155-1162.

  10. Weisgraber K. H. and Mahley R. W. , Human apolipoprotein E: the Alzheimer’s disease connection.FASEB J. 1996;10, 1485–1494.Struct. Biol. 4, 507–515.

  11. Nathan B. P., Orth M., Dong L.-M., Mahley R. W., and Pitas R. E., Stable expression and secretion of apolipoproteins E3 and E4 in mouse neuroblastoma cells produces differential effects on neurite outgrowth. J. Biol. Chem. 1995;270, 27063–27071

  12. Mulder, C., Scheltens, P., Visser, J.J., van Kamp, G.J. and Schutgens, R.B., Genetic and biochemical markers for alzheimer’s disease : recent development. Ann Clin Biochem 2000 ; 37 ; 593-607.

  13. Raber J., Wong D., Yu G.-Q., Buttini M., Mahley R. W.,Pitas R. E., et al., Apolipoprotein E and cognitive performance. Nature 2000;404, 352–354.

  14. Poirier J., Hess M., May P. C., and Finch C. E., Astrocytic apolipoprotein E mRNA and GFAP mRNA in hippocampus after entorhinal cortex lesioning. Mol. Brain Res. 1991;11, 97–106.

  15. Mazur-Kolecka B., Frackowiak J., Kowal D., Krzeslowska J., and Dickson D. , Oxidative protein damage in cells engaged in â-amyloidosis is related to apoE genotype. Neuroreport 2002;13, 465–468.


Baca selengkapnya >>

Hubungan Antara Abnormalitas Nervus Koklearis Dengan Perkembangan Anak Yang Mengalami Discharge Di Telinga

Armansyah*, Abdul Gofir.**, Indria L. Gamayanti***

* Peserta Pendidikan Dokter di Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada

** Bagian Ilmu Penyakit Saraf, Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada

*** Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada


PENDAHULUAN Perkembangan kemampuan bicara normal dan komunikasi bahasa, hubungan pribadi dan keluarga, serta pencapaian intelektual dan pendidikan sangat bergantung pada pendengaran yang utuh. Dengan demikian sudah menjadi kewajiban dokter untuk mengembangkan keahlian dalam menilai pendengaran pasien bayi dan anak.1Abnormalitas fungsi sistem pendengaran pada bayi atau anak-anak antara lain dapat disertai dengan gangguan perkembangan. Umumnya seorang bayi atau anak-anak yang mengalami gangguan pendengaran lebih dahulu diketahui keluarganya sebagai pasien yang terlambat bicara (delayed speech).2


Masalah perkembangan dan tingkah laku umum dijumpai oleh dokter khususnya dokter spesialis anak dan petugas-petugas layanan kesehatan lainnya. Hal ini pada umumnya diperoleh dari deteksi dini, dengan waktu yang tepat, intervensi untuk memastikan hasil yang lebih baik dalam jumlah besar bagi anak-anak yang mengalami dan keluarga mereka.3Pada bayi atau anak-anak tahun-tahun pertama kehidupan adalah sangat penting untuk memperoleh antara lain kecakapan berbahasa. Identifikasi dini terhadap indera pendengaran adalah penting untuk menilai fungsi pendengaran yang berperan sebagai mediator bagi bayi dalam memperoleh informasi. Sehingga bayi atau anak-anak yang mengalami gangguan pada indera pendengarannya dapat segera mendapatkan manajemen terapi yang optimal lebih awal yang akan bermanfaat pada perkembangan anak selanjutnya. Seorang anak yang masih belum belajar bicara pada umur 12 hingga 18 bulan biasanya akan membuat cemas orangtuanya. Apalagi bayi atau anak tersebut pernah atau sedang mengalami penyakit yang berhubungan dengan discharge4,5 (bahan yang dikeluarkan) pada telinganya.1
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara abnormalitas nervus koklearis dengan perkembangan anak yang mengalami discharge di telinga.
METODE DAN CARAPenelitian ini adalah studi retrospektif analitik yang dilakukan dengan cara mengumpulkan dan mencatat data rekam medis pasien discharge di RSUP Dr. Sardjito secara konsekutif dari bulan Januari tahun 2000 hingga bulan Mei tahun 2006. Sampel dalam penelitian ini adalah pasien discharge berumur satu bulan hingga enam tahun berjenis kelamin laki-laki atau perempuan dan telah dilakukan pemeriksaan Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA) dan Denver II Developmental Screening Test (Denver II). Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah umur, jenis kelamin, hasil pemeriksaan BERA, dan hasil pemeriksaan Denver II. Data yang ada pada penelitian dikumpulkan dan dianalisis dengan komputer, menggunakan perangkat lunak paket statistik SPSS versi 13,0. Analisis deskriptif digunakan untuk mengklasifikasikan pasien discharge berdasarkan umur dan jenis kelamin di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Kemudian dilakukan uji korelasi bivariate menggunakan Spearmann’s corelation test untuk menentukan hubungan antara abnormalitas nervus koklearis dengan perkembangan anak yang mengalami discharge di telinga.
HASIL DAN PEMBAHASANDari hasil observasi data rekam medis RSUP Dr. Sardjito dari bulan Januari tahun 2000 hingga tahun bulan Mei tahun 2006 diperoleh data rekam medis pasien discharge sebanyak 362 orang. Setelah dieksklusi berdasarkan kriteria umur (1 bulan hingga 6 tahun) sampel menyusut menjadi 117 orang; dan selanjutnya dieksklusi berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan (pemeriksaan BERA dan Denver II) sampel yang memenuhi kriteria ada 74 orang. Hasil penelitian disajikan dalam tabel berikut ini.

Tabel 1. Klasifikasi pasien discharge berdasarkan umur


Umur

Frekuensi (anak)

Persentase (%)

1 tahun

9

12,2

2 tahun

24

32,4

3 tahun

15

20,3

4 tahun

11

14,9

5 tahun

14

18,9

6 tahun

1

1,4

Total

74

100

Sumber data: ICM RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Januari 2000 hingga Mei 2006.

Tabel 1 menunjukkan klasifikasi pasien discharge berdasarkan pada umur adalah pasien discharge berumur satu tahun sebanyak 9 orang (12,2%); berumur dua tahun sebanyak 24 orang (32,4%); berumur tiga tahun sebanyak 15 orang (20,3%); berumur empat tahun sebanyak 11 orang (14,9%); berumur lima tahun sebanyak 14 orang (18,9%); dan berumur enam tahun sebanyak 1 orang (1,4%). Menurut Adams, infeksi yang terjadi pada anak umumnya terjadi pada umur dua tahun, kemudian insidens puncak kedua terjadi pada tahun awal masa sekolah.

Tabel 2. Klasifikasi pasien discharge berdasarkan jenis kelamin.


Jenis Kelamin

Frekuensi (anak)

Persentase (%)

Laki-laki

48

64,9

Perempuan

26

35,1

Total

74

100

Sumber data: ICM RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Januari 2000 hingga Mei 2006.1


Tabel 2 menunjukkan klasifikasi pasien discharge berdasarkan jenis kelamin yaitu laki-lakisebanyak 48 orang (64,9%) dan perempuan sebanyak 26 orang (35,1%). Perbandingan persentase jenis kelamin ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Howie yang menunjukkan bahwa kejadian otitis media lebih sering ditemukan pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan.



Tabel 3. Klasifikasi hasil pemeriksaan BERA pasien discharge



Frekuensi (anak)

Persentase (%)

Normal

21

28,4

SNHL

50

67,6

CHL

3

4,1

Total

74

100,0


Frekuensi (anak)

Persentase (%)

Normal

21

28,4

Mild SNHL

35

47,3

Moderate SNHL

13

17,6

Severe SNHL

2

2,7

Mild CHL

1

1,4

Moderate CHL

1

1,4

Severe CHL

1

1,4

Total

74

100,0

Sumber data: ICM RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Januari 2000 hingga Mei 2006.


Berdasarkan tabel 3, dari 74 pasien discharge yang melakukan pemeriksaan BERA 21 orang (28,4%) mendapatkan hasil yang normal (28,4%) dan 53 orang (71,6) yang mengalami abnormalitas pada nervus koklearis yang terdiri atas tuli saraf (Sensory Neural Hearing Loss/SNHL) 50 orang (67,6%) dan tuli konduksi (Conductive Hearing Loss/CHL) 3 orang (4,1%). Secara lebih rinci dapat dijabarkan menjadi: tuli saraf derajat ringan (mild sensory neural hearing loss) ada 35 orang (47,3%), tuli saraf derajat sedang (moderate sensory neural hearing loss) ada 13 orang (17,6%), tuli saraf derajat berat (severe peripheral neural hearing loss) ada 2 orang (2,7%), tuli konduksi derajat ringan (mild conductive hearing loss) ada 1 orang (1,4%), tuli konduksi derajat sedang (moderate conductive hearing loss) ada 1 orang (1,4%), dan tuli konduksi derajat berat (severe conductive hearing loss) ada 1 orang (1,4%). Abnormalitas pada nervus koklearis bermanifestasi terhadap berkurangnya fungsi pendengaran pada pasien yang mengalami discharge di telinga.


Tabel 4. Klasifikasi hasil pemeriksaan Denver II pasien discharge


Frekuensi (anak)

Persentase (%)

Normal

14

18,9

Keterlambatan Perkembangan

60

81,1

Total

74

100,0

Sumber data: ICM RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Januari 2000 hingga Mei 2006.


Dari 74 pasien discharge yang melakukan pemeriksaan Denver II 14 orang (18,9%) mendapatkan hasil yang normal (perkembangan sesuai dengan umur) dan 60 orang (81,1%) mendapatkan hasil abnormal (mengalami keterlambatan perkembangan sesuai dengan umur). Keterlambatan perkembangan yang dialami oleh anak dapat diketahui dengan adanya keterlambatan berbicara, sulit berkonsentrasi, hiperaktif, dan lain-lain. Secara garis besar keterlambatan perkembangan ini dibagi menjadi empat macam yaitu keterlambatan perkembangan motorik kasar, keterlambatan perkembangan bahasa, keterlambatan perkembangan adaptif-motorik halus, dan keterlambatan perkembangan personal sosial.

Berdasarkan analisis statistik menggunakan uji korelasi bivariate menggunakan Spearmann’s corelation test menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara abnormalitas nervus koklearis berupa SNHL dengan perkembangan anak yang mengalami discharge di telinga (p=0,000; p<0,05) korelasi="0,731">discharge di telinga (p=0,370; p>0,05).


KESIMPULAN

Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara abnormalitas nervus koklearis berupa SNHL dengan perkembangan anak yang mengalami discharge di telinga. Namun, tidak ada hubungan yang bermakna antara abnormalitas nervus koklearis berupa CHL dengan perkembangan anak yang mengalami discharge di telinga.

SARAN

Orangtua dari anak yang pernah atau sedang mengalami discharge sebaiknya segera memeriksakan status pendengaran anaknya menggunakan pemeriksaan BERA untuk mengecek apakah terdapat abnormalitas pada nervus koklearis anaknya yang mengalami discharge di telinga. Sehingga apabila terjadi abnormalitas pada nervus koklearis anak tersebut dapat memperoleh penanganan sedini mungkin untuk mencegah terjadinya keterlambatan dalam tumbuh kembang anak tersebut. Oleh karena abnormalitas nervus koklearis kebanyakan berupa tuli saraf (SNHL), maka sedini mungkin anak mendapatkan bimbingan dari Speech Therapist (Ahli Terapi Bicara). Selain memeriksakan status pendengaran anaknya, orangtua sebaiknya sejak dini memberikan stimulasi perkembangan kepada anaknya misalnya menggunakan alat permainan edukatif (APE). Semua hal di atas sebaiknya dilakukan secara berkala untuk mengetahui perkembangan anak.

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai hubungan antara abnormalitas nervus vestibulokoklearis (n. VIII) dengan gangguan hiperaktivitas, gangguan konsentrasi, dan gangguan bicara pada anak.


UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Direktur SDM dan Pendidikan Direktorat Jenderal Pelayanan Medik RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta atas izin melakukan penelitian yang telah diberikan kepada penulis; seluruh staf dan karyawan Instalasi Catatan Medik (ICM) RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta


DAFTAR PUSTAKA

1. Adams, George L. BOIES: Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6. Jakarta: EGC.1997.

2. Hendarmin, Hendarto. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga-Hidung-Tenggorok Kepala Leher, Edisi Kelima. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2001.

3. Coghlan, D., Kiing, J.S.H., M Wake. Parents’ Evaluation of Developmental Status in the Australian day-care setting: Developmental concerns of parents and carers. J Paediatr. Child Health 2003;39:49-54.

4. Anonim. Medical dictionary. Available from URL: http://www.mathpost.com/md/Definition/9719.html. 2005.

5. Dorland, W.A.N. Hartanto, H.,editor. Kamus Kedokteran Dorland, Edisi 29. Jakarta: EGC. 2002.



Baca selengkapnya >>