Minggu, 18 Mei 2008

Penggunaan Obat Antiepilepsi dalam Klinik

*Samekto Wibowo, ** Abdul Gofir

* Guru Besar Fakultas Kedokteran UGM & Staf Pengajar Bagian Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran UGM/RS.Dr.Sardjito Yogyakarta

** Staf Pengajar Bagian Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran UGM/RS.Dr.Sardjito Yogyakarta

Obat antiepilepsi (OAE) merupakan terapi utama pada manajemen epilepsi. Keputusan untuk memulai terapi didasarkan pada pertimbangan kemungkinan terjadinya serangan epilepsi selanjutnya dan risiko terjadinya efek buruk akibat terapi obat antiepilepsi. Politerapi seharusnya dihindari sebisa mungkin. Namun demikian, kurang lebih 30-50% pasien tidak berrespon terhadap monoterapi.Tujuan pengobatan epilepsi dengan obat antiepilepsi adalah menghindari terjadinya kekambuhan dengan efek buruk yang minimal (yang dapat ditoleransi).


Prinsip-prinsip terapi obat antiepilepsi :

1. Menentukan diagnosis yang tepat

Diagnosis yang tepat sangat penting pada epilepsi. Orang yang terdiagnosis epilepsi mempunyai beberapa konsekuensi. Penderita epilepsi akan meminum obat dalam jangka waktu yang lama yang berakibat pada kemungkinan adanya efek yang merugikan akibat obat antiepilepsi. Penderita juga dinilai oleh masyarakat sebagai penderita epilepsi yang menurut penilaian masyarakat penyakit tersebut adalah penyakit kutukan. Sangat disayangkan apabila penderita sinkop yang berulang, diterapi dengan obat antiepilepsi. Oleh karena itu dibutuhkan pengetahuan yang baik bagi seorang dokter untuk mendiagnosis epilepsi. Jangan pernah coba-coba dalam terapi epilepsi.

2. Menentukan kapan dimulainya terapi dengan obat antiepilepsi

Salah satu kesulitan yang dihadapi seorang dokter dalam merawat pasien dengan serangan epilepsi adalah memutuskan kapan memulai pengobatan. Keputusan ini seharusnya dibuat setelah mendiskusikan dan mengevaluasi keadaan pasien, menimbang manfaat dan kerugian pengobatan.

Setelah kejang pertama

Langkah pertama untuk memulai pengobatan adalah menilai risiko terjadinya bangkitan selanjutnya. Jika bangkitan merupakan bangkitan non epileptik, pengobatan harus ditujukan pada faktor penyebab yang mendasari. Jika bangkitan hipoglikemik pada anak maka diterapi dengan glukosa, bangkitan karena putusnya alcohol dapat dikontrol paling baik dengan perubahan perilaku adiktif dan jika bangkitan karena masalah psikogenik dapat diatasi dengan konseling yang tepat. Terapi bangkitan epilepsi ditentukan oleh penilaian dua hal, risiko pengobatan dan manfaat pengobatan. Sebagai contoh, anak penderita epilepsi benigna dengan “spikes” di sentrotemporal mungkin tidak membutuhkan terapi dengan obat karena penelitian-penelitian menunjukkan bahwa setelah mengalami hanya sedikit serangan nokturnal, mereka jarang mengalami kondisi ini. Jika terdapat lesi struktural, biasanya bangkitan akan berulang (termasuk tumor otak, displasia kortikal dan malformasi arteriovenosa).

Jika diagnosis sudah ditegakkan, setelah bangkitan pertama jangan ragu-ragu untuk memberikan terapi untuk memulai terapi farmakologi dan mempertimbangkan dilakukannya tindakan bedah.

Namun demikian, pada banyak kasus, penggalian faktor penyebab spesifik seringkali gagal. Keputusan untuk mulai memberikan pengobatan setelah kejang pertama, menurut Leppik (2001) dapat dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan risiko terjadinya kejang selanjutnya, yaitu treat, possibly treat dan probably treat.

Tabel 1

A. Treat :

1. Jika didapatkan lesi struktural :

a. Tumor otak seperti meningioma, glioma, neoplastik

b. Malformasi arteiovenosa

c. Infeksi seperti abses dan ensefalitis herpetika

2. Tanpa lesi struktural, namun dengan :

a. Riwayat epilepsi pada saudara (bukan pada orang tua)

b. EEG dengan pola epilepsi yang jelas (epileptiform)

c. Riwayat kejang akut (kejang akibat penyakit tertentu atau kejang demam pada masa kanak-kanak)

d. Riwayat trauma otak atau stroke, infeksi SSP, trauma kepala berat

e. Todd’s postical paresis

f. Status epileptikus

B. Possibly :

Bangkitan tanpa ada penyebab yang jelas dan tidak ditemukan faktor risiko di atas. Untuk keadaan seperti ini diperlukan pertimbangan yang matang mengenai keuntungan dan risiko dari pengobatan obat antiepilepsi. Risiko pengobatan obat antiepilepsi umumnya rendah, sedangkan akibat dari bangkitan kedua tergantung gaya hidup pasien.pengobatan mungkin diindikasikan untuk pasien yang akan mengendarai kendaraan atau pasien yang mempunyai risiko besar atau trauma jika mengalami bangkitan kedua.

C. Probably not (meskipun terapi jangka pendek mungkin bisa digunakan) :

a. Putusnya alkohol

b. Penyalahgunaan obat

c. Kejang akibat penyakit akut seperti demam tinggi, dehidrasi, hipoglikemik

d. Kejang karena trauma(kejang tunggal dengan segera setelah pukulan di kepala)

e. Sindrom epilepsi benigna spesifik seperti : kejang demam atau epilepsi benigna dengan “spikes” sentrotemporal.

f. Kejang karena tidak tidur lama seperti kejang pada pelajar dalam waktu-waktu ujian

Setelah kejang lebih dua kali atau lebih

Pada umumnya pasien yang mengalami serangan dua kali atau lebih membutuhkan pengobatan. Kecuali pada serangan-serangan tertentu seperti kejang akibat putusnya alcohol, penyalahgunaan obat, kejang akibat penyakit akut seperti demam tinggi, dehidrasi, hipoglikemik, kejang karena trauma(kejang tunggal dengan segera setelah pukulan di kepala), sindrom epilepsi benigna spesifik seperti : kejang demam atau epilepsi benigna dengan “spikes” sentrotemporal, kejang karena tidak tidur lama seperti kejang pada pelajar dalam waktu-waktu ujian dan kejang akibat penyebab non epileptik lainnya. Kejang akibat hal-hal di atas sebaiknya ditangani sesuai kausanya. Pada pasien yang mengalami kejang pertama namun tidak ada faktor risiko satupun yang ditemukan, maka kemungkinan terjadinya kejang yang kedua 10% pada tahun pertama dan 24% pada akhir tahun kedua setelah kejang yang pertama. Keputusan untuk memulai terapi diambil dengan pertimbangan risk and benefit setelah sebelumnya dokter berdiskusi dengan pasien. Sebagai contoh terapi diindikasikan untuk pasien yang bekerja sebagai sopir karena jika terjadi kekambuhan sewaktu-waktu maka akan membahayakan pasien bahkan mengancam nyawa pasien. Pengobatan yang dilakukan pada penderita yang mempunyai sedikit bahkan tidak mempunyai risiko terjadinya kejang kedua biasanya hanya terapi jangka pendek. Risiko terjadinya kekambuhan yang paling besar terjadi pada dua tahun pertama. Seandainya pasien diputuskan untuk diobati, maka penghentian pengobatan dilakukan setelah tahun kedua dari kejang yang pertama.

3. Memilih obat yang paling sesuai

Pemilihan obat antiepilepsi didasarkan pada dua hal, tipe serangan dan karakteristik pasien

1. Tipe serangan

Tabel 2 modifikasi brodie et al (2005) dan panayiotopoulos (2005)

Tipe serangan

First-line

Second-line/

add on

Third line/

add on

Parsial simple & kompleks dengan atau tanpa general sekunder

Karbamazepine

Fenitoin

Fenobarbital

Okskarbazepin

Lamotrigin

Topiramat

Gabapentin

Asam valproat

Levetiracetam

Zonisamid

Pregabalin

Tiagabin

Vigabatrin

Felbamat

Pirimidon

Tonik klonik

Asam valproat

Karbamazepine

Fenitoin

Fenobarbital

Lamotrigin

Okskarbazepin

Topiramat

Levetiracetam

Zonisamid

Pirimidon

Mioklonik

Asam valproat

Topiramat

Levetiracetam

Zonisamid

Lamotrigin

Clobazam

Clonazepam

Fenobarbital

Absence (tipikal dan atipikal)

Asam valproat

Lamotrigin

Etosuksimid

Levetiracetam

Zonisamid

Atonik

Asam valproat

Lamotrigin

Topiramat

Felbamat

Tonik

Asam valproat

Fenitoin

Fenobarbital

Clonazepam

Clobazam

Epilepsy absence juvenil

Asam valproat

Etosuksimid

Clonazepam

Epilepsy mioklonik juvenil

Asam valproat

Fenobarbital

Clonazepam

Etosuksimid

2. karakteristik pasien

Dalam pengobatan dengan obat antiepilepsi karakteristik pasien harus dipertimbangkan secara individu. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah : efek buruk obat, dosis yang tepat, harga, pola hidup dan usia pasien. Suatu obat antiepilepsi mungkin efektif pada pasien tertentu namun jika ada kontra indikasi atau terjadi reaksi yang tidak bisa ditoleransi maka sebaiknya penggantian obat dilakukan. Sebagai contoh asam valproat pada wanita, khususnya wanita yang masih dalam usia subur.

4. Optimalisasi terapi dengan dosis individu

Ketika obat sudah dipilih terapi seharusnya dimulai dari dosis yang paling rendah yang direkomendasikan dan pelan-pelan dinaikkan dosisnya sampai kejang terkontrol dengan efek samping obat yang minimal (dapat ditoleransi).

Perlu dilakukan evaluasi respon klinik pasien terhadap dosis obat yang diberikan dengan melihat respon setelah obat mencapai kadar yang optimal dan kemudian memutuskan apakah selanjutnya dibutuhkan penyesuaian atau tidak. Setelah evaluasi dilakukan, baru kemudian dipertimbangkan adanya penambahan dosis.

Dosis awal :

Terapi obat antiepilepsi harus diberikan secara bertahap dalam satu bulan terapi untuk meminimalkan efek samping gastrointestinal dan neurologik yang biasanya terjadi pada permulaan terapi dengan obat antiepilepsi. Frekuensi efek samping ini cenderung menurun pada beberapa bulan setelah terapi karena dapat ditoleransi. Beberapa cara pemberian dosis awal :

Pemberian obat mulai dari dosis subterapetik

Sejumlah obat antiepilepsi memberikan efek samping yang dihubungkan dengan dosis awal, di antaranya karbamazepin, etosuksimide, felbamate, lamotrigin, pirimidone, tiagabin, topiramat dan asam valproat. Munculnya ruam pada penggunaan lamotrigin dihubungkan dengan dosis. Untuk meminimalkan efek samping pada pemberian awal ini, obat-obat tersebut biasanya diberikan mulai dengan dosis subterapetik dan dinaikkan secara bertahap sampai beberapa minggu tercapainya range dosis yang dianjurkan. Jika efek buruk tidak dapat ditoleransi selama proses titrasi ini, dosis harus kembali pada kadar sebelumnya yang dapat ditoleransi pasien. Setelah simptom menghilang, proses titrasi dimulai kembali dengan menaikkan dosis yang lebih kecil.

Pemberian obat mulai dari dosis terapetik

Efek buruk terkait dosis awal pemberian pada obat-obat antiepilepsi seperti gabapentin, fenitoin, dan fenobarbital merupakan masalah yang ringan sehingga terapi dengan obat tersebut dapat diberikan mulai dengan dosis terapetik yang direkomendasikan.

Evaluasi ulang

Sebelum berpikir ke arah kegagalan obat antiepilepsi dan penggantian obat antiepilepsi dengan obat lain, factor-faktor berikut harus dievaluasi kembali :

a. Diagnosis epilepsi

b. Klasifikasi tipe serangan atau sindrom epilepsi

c. Adanya lesi aktif

d. Dosis yang adekuat dan atau lamanya terapi (missal : apakah dosis terpaksa diberikan dengan kadar maksimal yang dapat ditoleransi?apakah pengaturan dosis yang diberikan cukup waktu untuk mencapai kondisi optimal?)

e. Ketaatan terhadap pengobatan (ketidaktaatan merupakan penyebab yang paling umum terjadinya kegagalan pengobata dan kambuhnya bangkitan).

Table 3 dosis obat antiepilepsi untuk dewasa diambil dari Brodie et al (2005)

Obat

Dosis awal (mg/hari)

Dosis yang paling umum (mg/hari)

Dosis maintenance (mg/hari)

Frekuensi pemberian (kali/hari)

Fenitoin

200

300

100-700

1-2

Karbamazepin

200

600

400-2000

2-4

Okskarbazepin

150-600

900-1800

900-2700

2-3

Lamotrigin

12,5-25

200-400

100-800

1-2

Zonisamid

100

400

400-600

1-2

Ethosuximid

500

1000

500-2000

1-2

Felbamat

1200

2400

1800-4800

3

Topiramat

25-50

200-400

100-100

2

Clobazam

10

20

10-40

1-2

Clonazepam

1

4

2-8

1-2

Fenobarbital

60

120

60-240

1-2

Pirimidon

125

500

250-1500

1-2

Tiagabin

4-10

40

20-60

2-4

Vigabatrin

500-1000

3000

2000-4000

1-2

Gabapentin

300-400

2400

1200-4800

3

Pregabalin

150

300

150-600

2-3

Valproat

500

1000

500-3000

2-3

Levetiracetam

1000

2000-3000

1000-4000

2

5. Penggantian Obat

Penggantian obat antiepilepsi pertama dilakukan jika :

1. Jika serangan terjadi kembali meskipun obat antiepilepsi pertama sudah diberikan dengan dosis maksimal yang dapat ditoleransi, maka obat antiepilepsi kedua harus segera dipilih.

2. Jika terjadi reaksi obat pertama baik efek samping, reaksi alergi ataupun efek merugikan lainnya yang tidak dapat ditoleransi pasien.

Terapi dengan obat yang kedua harus dimulai dengan gambaran sebagai berikut: pertama, dosis dari obat kedua harus dititrasi sampai pada range dosis yang direkomendasikan. Obat yang pertama harus diturunkan secara bertahap selama 1-3 minggu. Setelah obat yang pertama diturunkan, dosis obat kedua (monoterapi) harus dinaikkan sampai serangan terkontrol atau dengan efek samping yang minimal. Proses ini harus dilanjutkan sampai monoterapi dengan dua atau tiga obat primer gagal. Setelah proses tersebut dilakukan baru politerapi dipertimbangkan.

5. Monoterapi

Monoterapi rupanya sudah menjadi pilihan dalam memulai pengobatan epilepsi. Berbagai keuntungan diperoleh dengan cara itu, yakni: (1) mudah dilakukan evaluasi hasil pengobatan, (2) mudah dievaluasi kadar obat dalam darah, (3) efek samping minimal, (dapat ditoleransi pada 50-80% pasien) (Pellock, 1995), dan (4) terhindar dari interaksi obat-obat. Dewasa ini terapi obat pada penderita epilepsi, apapun jenisnya, selalu dimulai dengan obat tunggal. Pilihan obat ditentukan dengan melihat tipe epilepsi/bangkitan dan obat yang paling tepat sebagai pilihan pertama. Sekitar 75% kasus yang mendapat obat tunggal akan mengalami remisi dengan hanya mendapat efek samping minimal. Akan tetapi sisanya akan tetap mengalami bangkitan dan memerlukan kombinasi obat (Gram, 1995).

Berbagai faktor yang mendorong kemajuan penanganan epilepsi di antaranya ialah: (1) klasifikasi epilepsi menurut International League Againts Epilepsy, (2) pemantauan kadar obat antiepilepsi, (3) konsep monoterapi, (4) ditemukannya OAE baru dengan mekanisme aksi yang jelas, (5) pandangan baru tentang etiologi epilepsi, (6) lebih jelasnya mekanisme terjadinya bangkitan, dan (7) dikembangkannya berbagai perangkat untuk menentukan letak lesi. Secara farmakologis, satu OAE dengan satu mekanisme aksi merupakan unsur yang penting dalam manajemen epilepsi di kemudain hari.

Kenaikan inhibisi GABA-ergik merupakan salah satu sasaran penanganan epilepsi. Satu OAE dengan satu mekanisme akso tunggal serta dengan satu target mungkin merupakan pilihan utama, daripada satu OAE dengan berbagai target. Pada suatu kasus epilepsi dengan sebab multifokal, dapat diberikan satu OAE untuk tiap target (Gram, 1995).

6. Politerapi

Politerapi nampaknya tidak selalu merugikan. Goldsmith & de Biitencourt (1995) mengatakan bahwa generasi baru OAE yang dapat ditoleransi dengan baik dan sedikit interaksi, dapat digunakan untuk politerapi. Studi tersebut menggunakan vigabatrin sebagai terapi tambahan pada 19 kasus epilepsi parsial refrakter. Pasien-pasien tersebut sebelumnya sudah mendapat terapi rata-rata 1,5 macam obat. Dengan tambahan vigabatrin, 73% pasien mengalami reduksi frekuensi bangkitannya lebih dari 50%; 52% kasus mengalami reduksi frekuensi bangkitannya lebih dari 70%. Satu pasien frekuensi bangkitannya bertambah, sedangkan 2 pasien mengalami bangkitan mioklonik.

Penggunaan politerapi memerlukan pengetahuan yang baik dalam farmakologi klinik, terutama interaksi obat. Berbagai OAE lama, mempunyai mode of action yang sama, karena itu interaksinya sering tidak menguntungkan karena efek sampingnya aditif (Goldsmith & de Biitencourt,1995).

Kombinasi OAE yang lebih spesifik mungkin lebih menguntungkan, misalnya: valproat dan etosuksimid dalam manajemen bangkitan absence refrakter. Dibandingkan dengan obat-obat lama, obat-obat baru mempunyai mekanisme yang berbeda dan lebih selektif. Mungkin akan lebih menguntungkan apabila dipakai kombinasi spesifik. Selektif terapi kombinasi yang rasional, memerlukan pertimbangan efek klinis OAE, efek samping, interaksi obat, kadar terapetik dan kadar toksik serta mekanisme aksi tiap obat. Kombinasi optimal dicapai dengan menggunakan obat-obat yang:

(1) mempunyai mekanisme aksi berbeda;

(2) efek samping relatif ringan;

(3) indeks terapi lebar, dan

(4) interaksi obat terbatas atau negatif.

Tujuan tercapai epilepsi antara lain ialah: bangkitan terkendali dengan efek samping obat relatif rigan atau tidak ada sama sekali (Ferrendelli, 1995).

Fong (1995) mengatakan bahwa kombinasi obat hanya dipakai apabila semua upaya monoterapi telah dicoba. Apabila kombinasi dua macam obat lini pertama tidak menolong, obat yang mempunyai efek lebih besar dan efek samping lebih kecil tetap diteruskan, sementara obat yang lain diganti diganti dengan obat dari kelompok lini kedua. Apabila obat lini kedua tersebut efektif, dipertimbangkan untuk menarik obat pertama. Sebaliknya, obat lini kedua tersebut harus dihentikan apabila ternyata tidak juga efektif. Apabila upaya tersebut di atas gagal, kasus tersebut mungkin tergolong dalam epilepsi refrakter, kasus epilepsi yang sulit disembuhkan. Berbagai obat antiepilepsi (OAE) dapat terus dicoba pada kasus itu, atau dipertimbangkan untuk tindakan bedah.

7. Pemantauan terapi

Manajemen umum epilepsi :

1. Mengevaluasi kembali diagnosis sehingga mendapat diagnosis yang tepat

2. Menentukan dan mengobati penyebab

3. Mengobati serangan :

a. Menilai perlunya terapi obat :

b. Terapi obat tidak diindikasikan untuk kejang akibat penyakit akut yang reversible

c. Terapi obat tidak perlu untuk epilepsi-epilepsi benigna yang diketahui dengan pasti ( kejang demam, rolandic epilepsy)

d. Dari kejang pertama (yang tidak diketahui penyebabnya), nilai apakah banyak manfaatnya apabila mulai diterapi pada pasien-pasien dengan risiko tinggi.

e. Pemberian obat antiepilepsi yang sesuai

f. Temukan dan hindari factor-faktor presipitat (alcohol, kurang tidur, stress emosional, demam, kurang makan, menstruasi, dan lain-lain)

g. Evaluasi dan pertimbangkan untuk tindakan pembedahan dan implantasi stimulator nervus vagus pada pasien yang sulit diobati dengan obat antiepilepsi.

4. Mencegah komplikasi akibat serangan epilepsi :

  1. Hentikan kejang
  2. Hindari efek buruk obat yang tidak dapat ditoleransi pasien
  3. Perhatikan adanya komplikasi psikososial dan obati jika ada.

8. Ketaatan pasien

Penelitian Hakim (2006) menunjukkan bahwa kepatuhan minum obat menrupakan faktor prediktor untuk tercapainya remisi pada epilepsi, dimana pada penderita epilepsi yang patuh minum obat terbukti mengalami remisi 6 bulan, 12 bulan dan 24 bulan terus menerus dibanding dengan mereka yang tidak patuh minum obat. Kriteria kepatuhan minum obat yang dipakai adalah menurut Ley (1997) cit Hakim (2006) adalah penderita dikatakan patuh minum obat apabila memenuhi 4 hal berikut : dosis yang diminum sesuai dengan yang dianjurkan, durasi waktu minum obat doidiantara dosis sesuai yang dianjurkan, jumlah obat yang diambil pada suatu waktu sesuai yang ditentukan, dan tidak mengganti dengan obat lain yang tidak dianjurkan.

Berbagai faktor dapat mempengaruhi kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kepatuhan minum obat pada penderita epilepsi dipengaruhi oleh dukungan keluarga, dukungan dokter, pengaruh faktor motivasi, adanya efek samping obat, pengobatan monoterapi , pengaruh biaya pengobatan serta adanya pengaruh stigma akibat epilepsi (Kyngas, 2001, Buck et al, 1997; cit Lukman,2006).

Sedangkan penelitian yang dilakukan Hakim (2006) menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan minum obat pada penderita epilepsi adalah dukungan keluarga, dukungan dokter, motivasi yang baik, kontrol teratur dan tidak ada stigma akibat epilepsi. Dengan demikian, pada pengobatan epilepsi kita harus memperhatikan faktor-faktor apa saja yang akan berpengaruh terhadap keberhasilan pengobatan, disamping tentunya faktor obat yang efikasius, dosis yang tepat dan cara pemberian obat yang tepat juga harus diperhatikan.

Daftar Pustaka

Brodie MJ, Schachter M.J., Kwa P. 2005. Fast Facts : Epilepsy. Health Press Oxford, UK.

Heal, vej. 1997. Medical Pharmacology at Glance. Ed rd. Bloetwell Science ltd., Oxford. London

Leppik MD. 2001a. Principles of treatment and selection of an antiepileptic drug in Contemporary Diagnossis and Management of the Patient with Epilepsy. Handbook in Health Care, Newtown, Pennsylvania. USA

Shorvon, SD. 2001. Handbook of Epilepsy Treatment. Blackwell Science Ltd., London.

Louis FT, Richard C, Suter CC, Rosenberg JH, Brixner DI., Worley MV., Gunter MJ. 2005. Management of epilepsy in adult : treatment guidelines. Postgrad Med. 118(6):29-23.

Cavazos JE. 2005. Seizures and Epilepsy Overview and Classification. eMedicine.

Panayiotopoulus CP., 2005. The Epilepsies Seizures, Syndromes and Management. Bladon Medical Publishing. Oxford, UK.

Duncan JS., Shorvon SD, & Trimble MR. Discontinuation of phenytoin, carbamazepin and valproate in patients with active epilepsy. Epilepsia, 1990; 31(3): 324-33

Ferrendelli JA. Relating pharmacology to clinical practice: The pharmacologic basis of rational polypharmacy. Neurology, 1995; 45 (Suppl. 2): S12-S16

Fong JKY. Principles of management in epilepsy. J. Hongkong Med Assoc. 1993; 45(1): 7-18

Gram L. Epilepsy care: Image of the future. Epilepsia, 1995; 36 (Suppl. 6): S22-S24

Goldsmith P. & de Bittencourt PR. Rationalized polytherapy for epilepsy. Acta Neurol Scand., 1995; 162 (Suppl.): 35-39

Hakim, L; Wibowo,S &Harsono. 2006. Hubungan antara kepatuhan minum obat pada penderita epilepsi dengan kejadian remisi. Tesis. Bagian Ilmu Penyakit Saraf fakultas Kedokteran UGM

Hansten PD. Drug interactions, 2nd ed. Philadelphia: Lea & Febiger, 1973.

Meinardi H. Use of combined antiepileptic drugs therapy, In: Lexy RH, Mattson RH, Meldrum BS., editors: Antiepileptic drugs, 4th ed., Chap. 6, New York: Raven Press, 1995: 91-97

Montouris, G.D. 1995. Practical insights and clinical experience with combinations of the new antiepileptic drugs. Neurology, 45(suppl. 2) S25-S28.

Your cOmment"s Here! Hover Your cUrsOr to leave a cOmment.