Minggu, 18 Mei 2008

Obat Antiepilepsi pada Lansia


*Abdul Gofir,**Samekto Wibowo,

* Staf Pengajar Bagian Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran UGM/RS.Dr.Sardjito Yogyakarta

**Guru Besar Fakultas Kedokteran UGM & Staf Pengajar Bagian Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran UGM/RS.Dr.Sardjito Yogyakarta

Pendahuluan

Di Amerika Serikat terdapat lebih dari 11 juta lansia, 1 % diantaranya menderita epilepsi. Dibandingkan populasi yang lebih muda, kejang pada lansia cenderung meningkat baik karena diprovokasi oleh penyakit akut (provoked seizure / epilepsi simtomatik) ataupun tanpa penyebab yang jelas (unprovoked seizure / epilepsi idiopatik). Tiga puluh persen kejang akut pada lansia akan berlanjut menjadi status epileptikus yang membawa angka kematian mendekati 40% (Brodie & Kwan, 2005). Insidensi kejang pertama pada orang dengan usia 40-59 tahun adalah 52-59 per 100.000, namun meningkat menjadi 127 per 100.000 pada orang dengan usia 60 atau lebih. Pada orang yang berusia 65 tahun atau lebih angka prevalensi aktif kira-kira 1,5%, dua kali angka prevalensi pada dewasa muda (Leppik, 2001a).


Manajemen terapi pada lansia dengan epilepsi memerlukan perhatian khusus terutama karena perubahan terkait usia dalam hal farmakokinetika dan farmakodinamika obat antiepilepsi. Parameter farmakokinetika seperti ikatan protein, distribusi dan eliminasi obat berubah dengan pertambahan usia, dan perubahan ini dapat menyulitkan pengaturan dan monitoring obat antiepilepsi pada lansia. Umumnya, lansia lebih sensitif terhadap efek farmakodinamika berbagai macam pengobatan, terutama yang berefek pada sistem saraf(Bourdet, 2005).

Kelainan sistemik yang mempercepat terjadinya kejang akut dapat melibatkan gangguan metabolik atau elektrolit, termasuk hipoglikemia, hiperglikemia, uremia, hiponatremia, hipokalsemia, hipotiroidisme, pneumonia, urosepsis dan sirosis hepatis. Banyak obat yang diberikan pada lansia dilaporkan dapat mempercepat kejang, misalnya : antipsikotik, antidepresan, antibiotik, teofilin, levodopa, diuretik tiazid dan ginko biloba. Kejang pertama tanpa penyebab yang jelas pada lansia lebih banyak berkembang menjadi kejang berulang dibandingkan pada pasien dewasa muda. Epilepsi biasanya didiagnosis setelah dua atau lebih kejang yang tidak diketahui penyebabnya (Brodie & Kwan, 2005).

Makalah ini akan menyajikan tentang prinsip-prinsip terapi epilepsi pada lansia, farmakokinetika dan farmakodinamika obat pada lansia serta pilihan terapi epilepsi pada lansia

Pembahasan

A. Farmakodinamika dan farmakokinetika Obat pada lansia

Perubahan karena bertambahnya usia yang terjadi pada absorbsi, distribusi dan eliminasi obat, seringkali bertanggungjawab pada respon klinis obat antara pasien muda dan lansia. Pada beberapa obat, perubahan farmakokinetik tidak mempunyai efek yang berbeda. Perubahan farmakodinamika, akan berakibat konsentrasi obat yang diberikan menghasilkan efek farmakologi yang berbeda dari yang diharapkan, berperan pada hasil terapi yang terlihat. Misalnya, pasien lansia lebih sensitif terhadap obat yang berefek pada susunan saraf pusat (misal: bensodiazepin). Pasien lansia dapat mengalami efek farmakologik pada konsentrasi plasma yang rendah daripada pasien muda. Peningkatan sensitivitas terhadap terapi dan efek toksik obat antiepilepsi seperti fenitoin dan karbamazepin telah dilaporkan pada konsentrai plasma rendah - sedang pada pasien lansia. Studi lebih lanjut diperlukan untuk mengevaluasi kontribusi perubahan farmakodinamika karena usia terhadap perbedaan efek farmakologik (Bouerdet, 2006). Perubahan fisiologis terkait usia yang memiliki efek terbesar terhadap farmakokinetik obat anti epilepsi adalah konsentrasi beberapa protein serum serta berkurangnya aliran dan volume darah. Konsentrasi obat yang tidak terikat dalam serum sesuai dengan konsentrasi pada tempat aksi dan memberikan korelasi terbaik terhadap respon obat. Mendekati usia 65, banyak individu memiliki konsentrasi albumin yang rendah atau disebut hipoalbuminemia. Konsentrasi albumin menurun lebih jauh oleh kondisi seperti malnutrisi, insufisiensi renal dan rheumatoid arthritis. Bersamaan dengan kadar serum albumin yang menurun, obat yang terikat juga menurun. Hal ini menyebabkan efek menurunnya konsentrasi obat total dalam serum seperti fenitoin dan valproat. Sementara itu, konsentrasi obat dalam serum yang tidak terikat tetap tidak berubah (leppik, 2001).

Pada lansia terjadi perubahan ikatan protein dan penurunan klirens intrinsik. Klirens total obat antiepilepsi yang dieliminasi oleh hepar terutama dipengaruhi oleh ikatan protein dan klirens intrinsik obat yang tidak terikat, artinya klirens obat antiepilepsi yang dieliminasi hepar menurun. Hal ini menyebabkan efek yang berubah-ubah terhadap obat dan metabolit aktifnya, sehingga respon terhadap terapi obat kemungkinan berubah (leppik, 2001).

Dipihak lain, interaksi obat dengan obat lainnya perlu dicermati tersendiri. Penggunaan politerapi harus memperhitungkan obat antiepilepsi yang bersifat induser (enzym-inducer) seperti fenitoin, fenobarbital dan karbamasepin. Pemberian obat antiepilepsi tersebut bersama obat lain yang dimetabolisme di hati seperti glikosida digitalis, quinidin, propanolol, warfarin, steroid, antidepresan trisiklik, dan asetamonifen akan menyebabkan konsentrasi obat ini menjadi rendah. beberapa obat bersifat inhibisi (inhibit the metabolism of microsomal enzym-metabolized) seperti alopurinol, kloramfenikol, simetidin, diltiazem, eritromisin, isoniazid, penggunaan bersama-sama dengan obat antiepilepsi akan mengakibatkan menumpuknya obat antiepilepsi yang akan menambah efek samping (Raharjo & Wibowo, 1997).

Walaupun teori banyak menyebutkan pengaruh perubahan fisiologik terkait umur terhadap disposisi obat dan penggunaan obat antiepilepsi pada orang tua, namun penelitian farmakokinetik obat antiepilepsi pada orang tua hanya sedikit dilakukan. Laporan yang ada umumnya meliputi evaluasi dosis tunggal dengan sampel yang sedikit pada usia muda. Tidak tersedianya data farmakokinetik obat antiepilepsi pada usia lanjut meningkatkan kemungkinan kegagalan pengobatan dan reaksi yang merugikan pada populasi ini (leppik, 2001).

Telah disepakati bahwa pertambahan usia (lansia) membawa perubahan pada:

a. komposisi tubuh, meningkatnya rasio lemak dan non lemak mengakibatkan kenaikan distribusi obat-obatan lipofilik;

b. menurunnya serum albumin membawa dampak terhadap penurunan ikatan protein plasma dan ;

c. menurunnya fungsi metabolisme hati dan clearence ginjal menyebabkan menumpuknya obat (Raharjo & Wibowo, 1997).


Tabel 1. Pertimbangan farmakologis pada lansia.

Farmakokinetika

Penurunan pada :

Ø pengikatan oleh protein

Ø metabolisme hepar

Ø kemampuan menginduksi enzim

Ø eliminasi oleh ginjal

Farmakodinamika

Perubahan pada :

Ø neurotransmitter otak

Ø fungsi reseptor

Ø farmakologi otonom

Ø mekanisme hoemostatis.

Tolerabilitas

Peningkatan risiko pada :

Ø Perubahan kinetika dan dinamika.

Ø Interaksi dan polifarmasi

Ø Reaksi idiosinkratik

Ø Komorbiditas fisik dan psikiatris.


(Brodie & Kawn, 2003)

B. Prinsip pengobatan epilepsi pada lansia

Tujuan pengobatan

Tujuan pengobatan epilepsi pada lansia adalah untuk memelihara pola hidup yang normal, idealnya dengan mengontrol kejang sepnuhnya, tanpa efek samping, atau dengan efek samping seminimal mungkin, sehingga dengan demikian kapasitas fungsional pasien bisa dikembalikan seoptimal mungkin.

Kapan memulai terapi

Pengobatan untuk epilepsi simtomatik (provoked seizure) harus diarahkan pada penyebab yang mendasarinya. Seluruh orang tua yang mengalami sekali atau lebih kejang idiopatik sebaiknya ditawari pengobatan dengan obat antiepilepsi. Apakah terapi harus dimulai setelah episode tunggal kejang idiopatik atau tidak masih kontroversial. Penelitian-penelitan prospektif acak yang melibatkan pasien-pasien dari seluruh kelompok umur, seperti penelitian multisenter yang baru diterbitkan mengenai epilepsi awal dan episode kejang tunggal, telah menunjukkan bahwa dibanding dengan menunda pengobatan hingga episode kejang berikutnya, pengobatan segera setelah kejang idiopatik pertama tidak menunjukkan peningkatan waktu remisi. Fakta yang menunjukkan bahwa sebagian besar orang tua tidak mengalami episode kejang berikutnya semakin memperkuat argumen bahwa episode kejang tunggal yang muncul pertama kali tidak perlu diterapi (Selwa & Velez, 2003).

Namun demikian, karena konsekuensi fisik dan psikologis dari kejang berulang, terapi profilaksis sebaiknya dipertimbangkan setelah kejang idiopatik pertama pada orang tua yang berisiko tinggi untuk mengalami rekurensi, seperti pasien dengan lesi otak yang mendasari, atau gambaran epileptiform pada EEG, atau karena permintaan pasien (Brodie & Kawn, 2003).

Dokter-dokter umumnya memulai terapi pada pasien lansia setelah kejang yang pertama jika terdapat lesi susunan saraf pusat (misalnya tumor, stroke, AVM). Pada pasien-pasien seperti ini risiko kejadian kejang berulang lebih tinggi. Kandidat untuk terapi obat antiepilepsi adalah pasien dengan kejang berulang, onset epilepsi dengan status epileptikus, atau jika jelas ada predisposisi struktural terjadinya kejang (leppik, 2001b; Selwa & Velez 2003).

Prinsip terapi Obat Anti Epilepsi pada lansia

Mempertimbangkan perubahan-perubahan tersebut di atas, maka pemilihan obat pada lansia harus mempertimbangkan obat-obat dengan spektrum aktifitas yang sesuai, dengan efek samping dan profil interaksi seminimal mungkin. Obat-obat yang dapat menyebabkan gangguan kognitif atau memiliki interaksi farmakokinetik yang kompleks sebaiknya dihindari, dengan demikian golongan barbtiturat tidak boleh diberikan pada pasien tua. Obat-obat yang diberikan hendaknya dapat membuat pasien bebas kejang dan tidak mengalami sekuele lebih lanjut. Mulai dari dosis rendah dan kemudian dititrasi perlahan (start low go slow) hingga mencapai dosis maintenace yang dapat memberikan hasil terbaik dengan efek samping seminimal mungkin. Tujuan start low go slow ini adalah untuk mencegah terjadinya toksisitas. Jika obat pertama gagal akibat reaksi idiosinkratik, tolerabilitas yang rendah pada dosis rendah atau sedang ataupun karena kurangnya efikasi, maka obat alternatif harus diberikan. Jika pasien toleran pada obat kedua dengan respon yang bermanfaat namun kurang optimal, maka terapi kombinasi dengan kedua agen dapat dipertimbangkan. Instruksi tertulis, penjelasan yang hati-hati mengenai regimen obat harus diberikan kepada pasien (Brodie & Kwan, 2005).

Epilepsi pada lansia umumnya berespon baik terhadap pengobatan. Delapan puluh persen pasien dengan onset pada usia lanjut diharapkan tetap bebas kejang dengan obat antiepilepsi (Brodie & Kwan, 2005). Tatalaksana pemberian obat antiepilepsi harus memperhatikan pengaruh usia pada farmakologik dan farmakokinetik obat. Kecenderungan politerapi sehubungan dengan penyakit lain yang dialami pasien harus diperhitungkan. Secara umum diperhitungkan dosis yang lebih rendah dibandingkan orang muda oleh karena titrasinya telah melambat.

Apakah terapi bisa dihentikan setelah satu periode bebas kejang belum disepakati, sehingga kebanyakan pasien tetap mengkonsumsi obat antiepilepsi seumur hidup.

C. Obat atntiepilepsi lama (older / established antiepileptic drugs)

Fenitoin

Fenitoin merupakan obat antiepilepsi yang biasa dipakai pada klinik perawatan. Penelitian sehari tahun 1995 pada 21.551 klinik perawatan di 24 kota 10,5% menggunakan obat antiepilepsi. 9,2% diantaranyai indikasi kejang dan epilepsi. dari berbagai macam obat antiepilepsi yang dipakai 6,2% menggunakan fenitoin, 1,8% karbamazepin, 0,9% asam valproat, 1,7% fenobarbital, dan obat-obat lainnya sebanyak 1,2% (leppik, 2001b). Fenitoin memiliki range terapi yang sempit dan farmakokinetik yang komplek. Obat ini diabsorbsi pelan, ± 90 % terikat serum albumin, mengalami metabolisme yang jenuh dan memiliki efek perubahan non linear pada konsentrasi serum yang stabil(leppik, 2001a).

Obat ini 90 % terikat pada protein, sehingga perubahan pada ikatan protein ini akan mempengaruhi pengikatan obat. Penelitian klinis pada pasien lansia menunjukkan penurunan ikatan fenitoin terhadap albumin dan meningkatnya fraksi bebas obat. Ikatan fenitoin dengan serum protein berhubungan dengan konsentrasi albumin, yang khasnya pada lansia adalah normal rendah sampai subnormal. Seiring dengan konsentrasi obat yang meningkat dan konsentrasi albumin yang menurun, ikatan fenitoin kemungkinan besar akan menurun (leppik, 2001a, Selwa & Velez, 2003).

Karena adanya perubahan ikatan protein ini, kadar obat total pada populasi ini mungkin normal, tetapi kadar yang bebas (unbound level) mungkin akan terdeteksi over dosis.Pada pasien dengan penurunan metabolisme dan penurunan ikatan terhadap albumin serum, konsentrasi obat yang tidak terikat meningkat, sementara itu konsentrasi obat total menurun. Pada kasus yang seperti itu, klinisi mungkin akan menemukan bahwa konsentrasi obat total tidak berhubungan dengan respon. Pasien mungkin mungkin sudah berhasil dikontrol kejangnya pada konsentrasi subterapeutik atau mungkin mereka mengalami toksisitas ketika konsentrasi serum total berada pada daerah terapetik. Dengan demikian konsentrasi plasma harus dimonitor untuk mencegah toksisitas. Pengukuran konsentrasi fenitoin yang tidak terikat diperlukan pada pasien lansia yang memiliki : (1), penurunan konsentrasi albumin serum atau konsentrasi fenitoin total yang dekat dengan batas atas; (2), konsentrasi total yang menurun menurut waktu; (3), konsentrasi total yang relatif rendah terhadap dosis harian atau (4), konsentrasi total yang tidak memiliki hubungan dengan respon klinis. Range total 5 mg/l – 15 mg/l mungkin lebih cocok sebagai daerah terapetik untuk lansia.

Satu survey perawatan di rumah mengungkapkan bahwa lansia mengkonsumsi dosis fenitoin yang sama dengan yang digunakan pada dewasa muda. Dengan demikian, terdapat potensi yang besar terjadinya overdosis pada populasi yang menjalani perawatan di rumah.

Efek buruk yang paling sering dikaitkan dengan pemberian fenitoin melibatkan sistem saraf pusat dan biasanya berhubungan dengan dosis. gangguan koordinasi terdapat pada pasien lansia yang berisiko jatuh atau kecelakaan. Hiperplasia gingiva terdapat pada 50% pasien yang menerima terapi jangka panjang (Bourdet et al, 2003)

Asam Valproat

Pada praktek klinis asam valproat digunakan sebagai monoterapi dan ajuvan terapi pada pengobatan epilepsi parsial dan epilepsi general (Bourdet et al, 2003). Asam valproat umumnya interaksinya minimal pada level hepar sehingga obat ini menguntungkan untuk pasien lansia (Shorvon, 2001). Dibanding obat antiepilepsi golongan lama lainnya, obat ini memiliki profil kognitif dan behavior yang sedikit lebih baik (Brodie & Kawn, 2003). Sodium valproat mempunyai broad spektrum yang luas dan menjadi obat pilihan untuk sindrom epilepsi general idiopatik yang terjadi pada usia tua

Hanya sedikit penelitian yang telah membandingkan farmakokinetik asam valproat pada pasien muda dan lansia. Pada penelitian farmakokinetik valproat pada 6 orang dewasa muda dan 6 sukarelawan lansia (66-72 tahun), fraksi tidak terikat rata-rata dari valproat adalah 10,7 % pada lansia dibandingkan dengan 6,4% pada subyek usia muda. Pada subyek lansia, konsentrasi tidak terikat rata-rata adalah 67% lebih tinggi dan klirens tidak terikat 65% lebih rendah dari dewasa muda (leppik, 2001a).

Pada penelitian lain, membandingkan farmakokinetik dosis tunggal valproat iv pada 7 sukarelawan muda dan 6 lansia dari unit perawatan jangka panjang (75-85 tahun), klirens total adalah sama antara kedua grup (leppik, 2001. Waktu paruh eliminasi serum adalah 2 kali lebih panjang pada lansia daripada subyek usia muda, 14,9 vs 7,2 jam. Asam valproat, seperti fenitoin, dihubungkan dengan penurunan ikatan protein dan klirens tidak terikat pada lansia. Sebagai hasilnya, respon klinik yang diharapkan mungkin dicapai dengan dosis lebih rendah dari biasanya. Karena waktu paruh eliminasi serum lebih lama, interval dosis dapat diperlebar. Jika konsentrasi albumin turun atau respon klinis pasien tidak berhubungan dengan konsentrasi obat total, pengukuran obat yang tidak terikat seharusnya dipertimbangkan. (leppik, 2001a).

Karbamazepin

Pada praktek klinis karbamazepin digunakan sebagai monoterapi dan ajuvan terapi pada pengobatan epilepsi parsial dan epilepsi general tonik klonik. Pada pasien lansia terjadi penurunan albumin sehingga mengakibatkan peningkatan karbamazepin bebas (Bourdet et al, 2003). Dewasa membutuhkan 10-20 mg/kg/hari, yang terbagi dalam 3 atau 4 dosis untuk mencapai konsentrasi karbanmazepin dalam serum dalam daerah terapetik seperti biasa. Dosis karbamazepin yang lebih rendah ditemukan pada penelitian pasien yang menjalani rawat di rumah (home care), sementara itu konsentrasi karbamazepin dalam serum tetap dalam daerah terapetik seperti biasa.

Karbamazepin 65-85 % terikat pada kombinasi albumin dan alfa 1 acid glycoprotein. Obat ini dimetabolisme di hepar. Di hepar obat ini dapat menginduksi metabolisme hepar dan mempercepat oksidasi dan konjugasi obat lain. Karena klirens obat menurun pada orang tua, level karbamazepin harus dimonitor ketat, khususnya pada permulaan terapi (Selwa & Vlelez, 2003).

Suatu penelitian memperhitungkan klirens karbamazepin pada 7 penduduk (usia rata-rata 82,3 tahun) menggunakan dosis harian dan konsentrasi dalam serum. Klirens 40% lebih rendah daripada kelompok usia muda, 41,0 ± 19,6 vs 17,4 ± 35,8 ml/h/kg secara respektif. Penurunan ini sama besarnya dengan yang terlihat pada fenitoin dan asam valproat pada lansia. Klirens yang lebih kecil menghasilkan waktu paruh eliminasi yang lama. Perubahan pada farmakokinetik karbamazepin membutuhkan dosis yang rendah dan frekuensi yang lebih sedikitpada pasien lansia (leppik, 2001a).

Toksisitas karbamazepin yang dikaitkan dengan dosis termasuk diantaranya dizziness dan diplopia yang terdapat pada pasien lansia memberikan risiko terjatuh dan mungkin mempengaruhi aktivitas sehari-hari. Titrasi gradual (bertahap) karbamazepin dan penggantian formulasi pemberian obat (meminimalkan konsentrasi puncak dalam plasma) dapat menurunkan efek buruk tersebut (Bourdet et al, 2003).

Keuntungan utama karbamazeoin adalah efikasinya yang terbukti, dosis dua kali sehari pada orang dewasa, dan terdapatnya preparat yang extended release. Namun demikian hiponatremi dan masalah konduksi jantung dapat terjadi lebih sering pada pasien tua daripada pasien yang lebih muda. Selain itu karbamazepin juga berinteraksi dengan sejumlah obat (Selwa & Vellez, 2003).

Benzodiazepin.

Benzodiazepin digunakan untuk terapi epilepsi termasuk di antaranya diazepam, lorazepam, clorazepate dan clorazepam. Diazepam dan lorazeopam diberikan secara iv untuk terapi akut status epileptikus dan clorazepate dan clorazepam diberikan secara oral untuk terapi pemeliharaan.Diazepam adalah pengikat protein yang tinggi (>99%) dan mengalami metabolisme oksidatif untuk membentuk metabolisme aktif, desmetildiazepam. Penurunan ikatan protein sesuai umur, menghasilkan peningkatan fraksi bebas dan volume distribusi yang besar dari diazepam dan dismetildiazepam. Klirens yang tidak terikat menurun, waktu paruh eliminasi serum obat dan metabolitnya memanjang. Lorazepam terikat sedikit lebih rendah (90%) dan dimetabolisme secara konjugasi menjadi lorazepam glukoronide. Fraksi bebas lorazepam meningkat sesuai umur dan volume distribusi meningkat, tetapi lebih sedikit disbanding diazepam. Waktu paruh eliminasi lorazepam sama antara usia muda dan lansia. Perbandingan langsung farmakokinetik clonazepam dan clorazepat pada usia muda dan lansia belum diumumkan.

Lansia cenderung lebih sensitive terhadap obat yang bekerja pada system saraf pusat. Di antara obat-obat tersebut, benzodiazepine mengalami penelitian farmakodinamik yang paling ekstensif. Pada penelitian mengenai efek sedasi diazepam, sensitivitas meningkat pada lansia, walaupun konsentrasi obat yang tidak terikat tidak berbeda dari subyek usia muda. Peningkatan sensitivitas pada usia tua pada obat tersebut rupanya tidak bergantung dengan konsentrasi obat, baik di dalam serum ataupun pada tempat aksi. Bertambahnya sensitivitas pada lansia terhadap benzodiazepine mungkin menigkatkan sensitivitas OAE lain.


D.Obat antiepilepsi baru (modern antiepileptic drugs)

Tidak satupun dari obat antiepilepsi modern yang telah terbukti memiliki efikasi yang lebih baik dibandingkan obat antiepilepsi lama untuk pengobatan kejang tonik klonik dan parsial yang baru terdiagnosis, meskipun lamotrigin dan oxkarbazepin menunjukkan tolerabilitas yang lebih baik dan kecendrungan keberhasilan pengobatan yang meningkat (Selwa & Vellez, 2003).

Hanya ada dua uji acak terkontrol yang telah secara khusus merekrut pasien lansia. Penelitian-penelitian ini menemukan bahwa lamotrigin dan gabapentin menghasilkan efek samping yang lebih baik dibanding karbamazepin, dengan efikasi yang sama (Selwa & Vellez, 2003).

Okskarbazepin

Okskarbazepin akhir-akhir irni disebut sebagai monoterapi untuk kejang onset parsial pada orang dewasa. Secara struktural obat ini serupa dengan karbamazepin dan memiliki spektrum aktivitas yang sama. Namun okskarbazepin tidak menginduksi metabolismenya sendiri dan hanya memiliki sedikit interaksi dengan obat lain. Suatu penelitian multisenter menunjukkan bahwa oxikarbazepin ditoleransi dengan baik dan dapat dititrasi dengan cepat dalam 14 hari tanpa mengancam keselamatan. Pada penelitian ini pusing, nyeri kepala, fatigue, somnolen , nausea dan muntah merupakan efek samping yang paling umum. Hiponatremi dan gangguan jantung masih menjadi masalah yang penting. Tidak ada data yang signifikan yang menunjukkan penggunaan obat ini pada lansia. Secara teoritis semestinya obat ini bisa memberikan keuntungan yang signifikan (Selwa & Vellez, 2003).

Lamotrigin

Obat ini merupakan broad spektrum, dalam penelitian klinik menunjukkan efikasi baik pada epilepsi general maupun parsial serta dapat digunakan sebagai ajuvan terapi pada sindrom lennox-gastaut (Bourdet et al, 2003). Dosis yang dianjurkan pada orang tua, untuk dosis maintenace awal 100 mg pada monoterapi, 50-100mg jika dikombinasikan dengan asam valproat atau 200 mg pada pemberian dengan kombinasi obat -obat antiepilepsi yang menginduksi enzim. Obat ini berpotensi untuk berinterksi dengan obat lainnya melalui mekanisme hepar dan ginjal sehingga pemberian obat harus dimonitor dengan hati-hati (Shorvon, 2001).

Gabapentin

Gabapentin efektif sebagai ajuvan terapi untuk eplepsi parsial. Tidak seperti obat antiepilepsi lainnya, gabapentin tidak dimetablisme oleh hepar, ekskresinya oleh ginjal melalui filtrasi yang proporsional dengan klirens kreatinin (Bourdet et al, 2003). Obat ini diabsorbsi oleh mekanisme transportasi yang dapat disaturasi. Karena tidak dimetabolisme dan ikatan dengan proteinnya minimal, maka perubahan distribusi dan metabolisme yang terkait dengan usia tidak diperhitungkan. Klirens ginjal gabapentin menurun seiring bertambahnya usia meskipun efeknya kecil Karena alasan tersebut maka umur tidak mempengaruhi dosis gabapentin(Sorvon, 2001).

Satu-satunya obat yang diketahui berinteraksi dengan gabapentin adalah antasida aluminium magnesium, yang menurunkan absorbsi gabapentin. Oleh karean itu gabepentin dan antasida ini harus diberikan sedikitnya terpisah dua jam (Selwa & Vellez, 2003).

Di antara obat-obat antiepilepsi baru, gabapentin memiliki profil keamanan yang paling baik, meskipun obat ini dapat menyebabkan somnolen, pusing, pandangan kabur dan leukopeni. Gabapentin dapat direkomendsikan sebagai monoterapi inisial atau terapi tambahan untuk terapi gangguan kejang pada pasien tua yang menggunakan medikasi multipe (Selwa & Velez, 2003).

Kesimpulan

1. Sekitar 1-2 % lansia menderita epilepsi, seringkali sebagai akibat sekunder dari penyakit serebrovaskular.

2. Dengan terapi farmakologis yang adekuat, kebanyakan lansia (80%) akan tetap bebas kejang.

3. Dalam memilih obat untuk lansia harus diperhatikan adanya perubahan farmakodinamikan dan farmakokinetika obat pada lansia. Perhatian juga harus diarahkan pada kemungkinan efek samping dan interaksi obat.

4. Pemberian obat antiepilepsi pada lansia dilakukan dengan prinsip start low go slow, serta harus disertai instruksi tertulis dan penjelasan yang hati-hati.

5. Uji acak terkontrol menunjukkan bahwa lamotrigine dan gabapentine ditoleransi dengan lebih baik dibanding karbamazepin pada orang tua.

Daftar Pustaka

Bourdet et al.2003. Pharmacologic Management of Epilepsy in Elderly. J.American Pharmaceutical Association. Online-journal.

Brodie JM, Kwan P. 2005. Epilepsy In Elderly People. Clinical Review. BMJ. Vol. 331; 1317-21.

Leppik MD. 2001a. Epilepsy in Elderly in Contemporary Diagnosis and Management of the Patient with Epilepsy. Handbook in Health Care, Newtown, Pennsylvania. USA.

.Leppik.2001b. Treatment of Epilepsy in the Elderly. Epilepsy Current, Vol1(2): 46- 47

Selwa LM, Velez M. 2003. Seizure Disorders in The Elderly. Am. fa. Physician. Vol. 67 : 325-32.

Shorvon, SD. 2001. Handbook of Epilepsy Treatment. Blackwell Science Ltd., London.

.


Your cOmment"s Here! Hover Your cUrsOr to leave a cOmment.